“Dari Tahta Banjar ke Pengasingan Cianjur: Perjuangan dan Jejak Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah (Sultan de facto) : Ketika mahkota lepas dari kepala, hati tetap menjadi medan juang.”

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena atas rahmat dan karunia-Nya buku berjudul “Dari Tahta Banjar ke Pengasingan Cianjur: Perjuangan dan Jejak Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah (Sultan de facto)” “Dari istana ke pengasingan, perjuangan tak mengenal jarak dan waktu.”dapat tersusun.

Buku ini mengangkat kisah “Ketika mahkota lepas dari kepala, hati tetap menjadi medan juang.” yang jarang diulas secara utuh: perjalanan hidup seorang pemimpin yang pernah memegang kendali Kesultanan Banjar dalam masa genting, menjadi tokoh penting Perang Banjar, hingga mengakhiri hidupnya di tanah pengasingan. Periode 25 Juni 1859 hingga 11 Juni 1860 menandai masa kepemimpinan de facto Sultan Wirakusuma II di tengah gejolak politik, intrik istana, dan tekanan kekuatan kolonial. Meskipun singkat, masa pemerintahannya memberi dampak besar dalam mempertahankan marwah kesultanan dan menyalakan semangat perlawanan.

Pasca lengser pada 11 Juni 1860, “Pengasingan bukan akhir, melainkan bab baru perlawanan.”perjuangan tidak berhenti. Perang Banjar terus berkobar, meninggalkan jejak kepahlawanan dan pengorbanan yang mengalir hingga ke pelosok Kalimantan Selatan. Pengasingan Sultan Wirakusuma II ke Cianjur pada tahun 3 maret 1862, di bawah rezim Residen Parahiangan cianjur, menjadi babak baru yang sarat dengan ketabahan, diplomasi sunyi, dan adaptasi dalam lingkungan yang berbeda. Selama empat dekade, beliau hidup di tanah rantau hingga Wafat tahun 6 juni 1901, berinteraksi dengan tokoh-tokoh pribumi Cianjur dan Banjar yang menjadi bupati, regent, maupun pejabat tradisional seperti demang, tumenggung, dan ronggo.

“Seorang sultan bisa dipindahkan, tapi marwah kesultanan tak bisa dipadamkan.”Buku ini disusun dengan memadukan sumber-sumber arsip resmi Hindia Belanda, catatan lapangan, penelitian akademis, dan penuturan tradisi lisan. Tujuannya adalah merekam secara komprehensif perjalanan sejarah dari istana Martapura hingga rumah pengasingan di Cianjur, serta menghadirkan daftar lengkap pejabat kolonial dan pribumi yang terkait dalam kurun 1860–1904.

Kami berharap karya ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi sejarawan, akademisi, pelajar, dan masyarakat luas yang ingin memahami dinamika politik, sosial, dan budaya pada masa akhir Kesultanan Banjar, serta menyadari bahwa perjuangan tidak selalu terwujud di medan tempur—kadang ia hidup dalam keteguhan hati di tengah keterasingan.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini, baik melalui penyediaan arsip, narasumber sejarah, maupun dukungan moral. Semoga buku ini menjadi sumbangsih kecil dalam memperkaya khazanah sejarah bangsa.

[Cianjur, 12 Agustus 2025
Penyusun

Gusti Henry

(Pangeran Wirakusuma VI)


Sinopsis

“Dari Tahta Banjar ke Pengasingan Cianjur: Perjuangan dan Jejak Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah (Sultan de facto)” mengisahkan perjalanan hidup seorang pemimpin yang berada di persimpangan sejarah besar Kalimantan Selatan pada abad ke-19.

Mengawali masa pemerintahannya pada 25 Juni 1859, Sultan Wirakusuma II memimpin Kesultanan Banjar di tengah pergolakan Perang Banjar yang melawan dominasi kolonial Hindia Belanda. Masa kekuasaannya yang singkat—berakhir pada 1 Juni 1860—tidak mengurangi pengaruhnya dalam mempertahankan kehormatan kesultanan dan memelihara semangat perlawanan.

Setelah dilengserkan pada 11 Juni 1860, Sultan Wirakusuma II tetap menjadi simbol perjuangan rakyat Banjar. Perang berlanjut, darah dan air mata menjadi saksi keteguhan para pejuang yang menolak tunduk. Namun, nasib membawanya ke pengasingan di Cianjur pada tahun 1862, di bawah pengawasan Residen Parahiangan. Selama empat dekade di tanah rantau, beliau hidup dalam bayang-bayang penjagaan ketat, namun tetap menjaga identitas dan martabat sebagai seorang sultan.

Buku ini tidak hanya merekam riwayat pribadi Sultan Wirakusuma II, tetapi juga memetakan jaringan tokoh-tokoh penting—baik kolonial maupun pribumi—di Banjar dan Cianjur pada kurun 1860–1904. Nama-nama residen, bupati/regent, demang, tumenggung, hingga ronggo dihadirkan lengkap dengan latar sejarahnya.

Dengan memadukan arsip resmi Belanda, catatan sejarah lokal, dan tradisi lisan, buku ini menghadirkan potret utuh tentang pergulatan kekuasaan, intrik politik, serta keteguhan hati seorang sultan yang tak pernah sepenuhnya menyerah, meski tak lagi duduk di singgasana.


DAFTAR ISI

Bab 1 – Latar Belakang Kesultanan Banjar

Bab 2 – Sultan Wirakusuma II sebagai Sultan De Facto (25 Juni 1859 – 11 Juni 1860)

Bab 3 – Lengsernya Wirakusuma II dan Lanjutan Perang Banjar (11 Juni 1860)

Bab 4 – Pengasingan ke Cianjur (1862–1904)

Bab 5 – Pemerintahan Residen Belanda di Banjar

Bab 6 – Tokoh Pribumi Cianjur & Banjar yang Menjadi Regent/Bupati

Bab 7 – Warisan Perjuangan Wirakusuma II

Lampiran

Residen Preanger / Parahyangan (wilayah yang meliputi Cianjur) untuk rentang waktu 1862–1904. Berikut daftar residen yang menjabat di Residency Preanger dalam periode itu (dengan tahun jabatan) — sumber arsip dan studi kolonial mendukung daftar ini.

  1. Christiaan van der Moore1858–1874.
  2. Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges1874–1879.
  3. Jan Marinus van Vleuten1879–1884.
  4. Albert G. G. Peltzer1884–1887.
  5. Johannes Heijting1887–1891.
  6. Johannes Diederik Harders1891–1894.
  7. Christiaan Willem Kist1894–1900.
  8. Eduard T. Th. H. van Benthem van den Bergh1900–1903.
  9. Gustaaf A. F. J. Oosthout1903–1907 (memasuki periode setelah 1904).

Daftar resmi Residen / pejabat Belanda dan tokoh adat (Ronggo, Tumenggung/Tomenggoeng, Demang, dst.) untuk wilayah Banjar (Martapura / Amuntai / Onderafdeeling Banjarmasin) periode 1860–1904. Saya sudah menemukan beberapa nama awal yang tercatat di sumber arsip dan publikasi sejarah daftar lengkap:

Residen / Pejabat Belanda :

Tokoh adat / jabatan lokal :

Nama pejabat utama (Bupati / Regent) Cianjur rentang 1860–1904 — lalu (Demang, Tumenggung / Tumenggoeng, Ronggo) dengan pengecekan arsip (ANRI), Staatsalmanak / Government Gazette Belanda, koran zamannya, dan studi lokal.

Terverifikasi

Catatan: daftar Bupati/Regent Cianjur yang lengkap tersedia pada sumber-sumber seperti buku studi lokal (mis. Sajarah Cianjur oleh Bayu Suryaningrat), publikasi akademik (Nina H. Lubis)


PENDAHULUAN

URUTAN SULTAN / RAJA BANJAR SECARA SEJARAH LENGKAP

(dengan klasifikasi: De JureDe Facto, dan Proklamasi)

Penjelasan berikut merinci lima tahapan dinasti/keraton yang terus berlanjut di wilayah Kalimantan Selatan, terutama wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar, hingga digabungkan secara paksa ke dalam wilayah Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, dan bagaimana istilah Kayu Tangi (Keraton IV) berkaitan erat dengan pesan agung Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah:

1. Keraton Awal: Kerajaan Kuripan

2. Keraton I: Kerajaan Negara Dipa

3. Keraton II: Kerajaan Negara Daha

4. Keraton III: Kesultanan Banjar

5. Keraton IV: Kerajaan Martapura / Kayu Tangi

6. Keraton V: Pagustian


Kenapa “Kayu Tangi” Disebut oleh Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah?

Pesan Agung Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah menyebut “Kayu Tangi” sebagai bagian dari warisan kedaulatan karena:

Dengan demikian, Kayu Tangi benar adalah Keraton IV, dan sangat penting dalam narasi perjuangan, legitimasi, serta spiritualitas Kesultanan Banjar di masa krisis dan kolonialisme.

SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN BANJAR 1526-1860

Raden Samudera / Sultan Suriansyah 1526 sampai dengan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah11 Juni 1860

I. Struktur Kekuasaan Inti

  1. Raja
    Gelar: Sultan / Panembahan / Ratu / Susuhunan
    • Kepala pemerintahan tertinggi dan simbol kekuasaan spiritual dan duniawi.
  2. Putra Mahkota
    Gelar: Sultan Muda / Pangeran Ratu / Ratu Anum
    • Pewaris tahta, pendamping Sultan dalam urusan kenegaraan.
  3. Perdana Menteri (Setingkat Wakil Sultan)
    Gelar: Mangkubumi / Perdana Mantri / Wazir
    • Membantu Sultan menjalankan pemerintahan harian.

II. Struktur Pemerintahan di Bawah Mangkubumi

  1. Mantri Panganan dan Mantri Pangiwa
    • Pembantu utama Mangkubumi dalam urusan administrasi dan keamanan.
  2. 40 Mantri Sikap
    • Setiap Mantri Sikap memiliki 40 pengawal pribadi.
  3. Lalawangan
    • Kepala distrik, setara camat. Dibantu oleh:
      • Lurah
      • Pambakal (Kepala kampung),
      • KhalifahBilal, dan Kaum (urusan agama).
  4. Sarawasa, Sarabumi, Sarabraja
    • Kepala urusan dalam lingkungan keraton (administrasi internal).
  5. Mandung dan Raksayuda
    • Bertanggung jawab atas keamanan istana, balai longsari, benteng.
  6. Mamagarsari
    • Pengapit raja yang duduk di kursi Situluhur (dekat raja).
  7. Parimala
    • Kepala urusan perdagangan dan pasar. Dibantu oleh Singataka dan Singapati.
  8. Sarageni dan Saradipa
    • Bertanggung jawab atas persenjataan: tombak, badil, duhung, meriam, dll.
  9. Puspawana
    • Mengelola sumber daya alam: hutan, tanaman, ternak, perburuan, perikanan.
  10. Pamarakan dan Rasajiwa
  1. Kadang Aji
  1. Wargasari
  1. Anggarmarta
  1. Astaprana
  1. Kaum Mangkumbara
  1. Wiramartas
  1. Bujangga
  1. Singabana

III. Struktur Hukum dan Keagamaan (Era Sultan Mustain Billah)

  1. Mangkubumi
  2. Mantri Pangiwa & Panganan
  3. Mantri Jaksa – Kepala urusan hukum sekuler
  4. Tuan Panghulu – Kepala urusan agama
  5. Tuan Khalifah
  6. Khatib
  7. Para Dipati – Saudara raja
  8. Para Pryayi – Bangsawan dan pejabat tinggi

Forum Rapat/Musyawarah:

Hierarki Sidang Negara:

  1. Raja
  2. Mangkubumi
  3. Panghulu
  4. Jaksa

IV. Reformasi Pemerintahan pada Masa Sultan Adam Al-Watsiq Billah

  1. Mufti
    • Hakim tertinggi, mengawasi pengadilan umum.
  2. Qadi
    • Kepala hukum Islam.
  3. Penghulu
    • Hakim tingkat rendah dalam hukum agama.
  4. Lurah
    • Pembantu Lalawangan, mengamati kerja para Pambakal.
  5. Pambakal
    • Kepala kampung.
  6. Mantri
    • Pangkat kehormatan, dapat menjadi kepala desa.
  7. Tatuha Kampung
    • Tokoh masyarakat terkemuka di kampung.
  8. Panakawan
    • Abdi raja, dibebaskan dari pajak dan kewajiban lain.

V. Gelar Kehormatan dan Sosial

Gelar Anak Raja:

Gelar Khusus:

Ketidaksesuaian gelar bangsawan (antara anak permaisuri vs anak selir),Kesalahan pemetaan genealogis dalam literatur sejarah modern, dan Pergeseran narasi sejarah yang membingungkan generasi baru.

KONFLIK PENETAPAN GELAR ANAK RAJA: ANTARA “GUSTI” DAN “PANGERAN”

Aturan Umum Tradisional Banjar:

Kenyataan yang saya Soroti:

Contoh kontradiksi:

Pangeran Wira Kasoema adalah putra dari Sultan Muda Abdurrahman dengan istri Ketiganya yang sah, yaitu Permaisuri Ratu Halimah Abdurrahman. Karena lahir dari Permaisuri (bukan dari selir), maka status dan gelarnya sejak lahir “Pangeran” Bukan Gusti dan sepantasnya ia diakui sebagai bagian utama dari keluarga kerajaan.

Namun sayangnya, dalam beberapa buku sejarah dan narasi yang beredar saat ini, justru ada kekeliruan yang menyebut atau menafsirkan bahwa Pangeran Wira Kasoema adalah anak dari selir, bukan dari permaisuri. Kesalahan seperti ini sangat merugikan karena bisa mengaburkan posisi dan peran penting beliau dalam sejarah Kesultanan Banjar.

Oleh karena itu, Kemendikbud, para sejarawan lokal, serta yayasan keluarga bangsawan Banjar perlu bekerja sama dan saling mendukung untuk memperbaiki kurikulum dan buku-buku sejarah agar isinya sesuai dengan fakta dan silsilah yang benar. Hal ini penting supaya generasi muda tidak mendapatkan informasi yang salah, dan tokoh-tokoh yang memang punya peran penting dalam sejarah bangsa tidak diabaikan atau disalahpahami.

Analisis:

  1. Distorsi Politik Internal: Gelar bukan hanya soal kelahiran, tapi juga kekuatan faksi politik dan pengaruh elit dalam penobatan. Gelar “Pangeran” bisa diberikan pada anak selir jika didukung penguasa Sultan adam Alwatsiqbilah atau punya kekuatan politik tertentu (contoh: Gusti Andarun /Hidayat menjadi Pangeran Mangkubumi Martapura bergelar Hidayatulah II).
  2. Delegitimasi Lawan Politik: Pangeran Wira Kasoema mungkin “diturunkan” status menjadi “Anak Selir” sebagai upaya melemahkan legitimasinya oleh pihak lawan politik.
  3. Konflik antara anak-anak Sultan Muda Abdurrahman: Status Wirakusuma, Tamjidillah II, dan Hidayatullah II menjadi bagian dari narasi pertarungan perebutan kekuasaan dan legitimasi di akhir masa Kesultanan Banjar.

PEREMPUAN DAN STATUS IBU: Siapa Permaisuri dan Siapa Selir?

Diketahui:

Menunjukkan kejanggalan:

Berikut ini penjabaran secara sederhana dan kronologis agar orang awam bisa memahami kejanggalan sejarah dan pergantian kekuasaan di Kesultanan Banjar antara tahun 1825–1862. Fokusnya pada pergantian sultan, status ibu (permaisuri atau selir), serta peran Belanda.


 Kronologi Kekuasaan & Kejanggalan di Kesultanan Banjar (1825–1862)


1825–1855: Sultan Adam Alwatsiqbillah


 1855–1858: Sultan Muda Prabu Anom (Prabu Citra Abdullah)


1858–1860: “Sultan Kuning” (Sambang / Datu Aling)


1857–1859: Gusti Wayuri / Tamjidillah II (Anak Selir)


25 Juni 1859 – 11 Juni 1860: Pangeran Wira Kasoema II


3 September 1859 – 2 Maret 1862: Gusti Andarun / Hidayatullah II


Kesimpulan untuk Orang Awam

  1. Kekuasaan Kesultanan Banjar penuh konflik antara 1855–1862.
  2. Banyak anak dari selir (bukan istri sah) yang diangkat jadi Sultan, padahal adat kerajaan menetapkan hanya anak permaisuri yang boleh mewarisi tahta.
  3. Belanda ikut campur dalam menunjuk sultan, sering mengabaikan adat dan garis keturunan sah.
  4. Dua tokoh utama yang terzalimi adalah Sultan Muda Prabu Anom dan Pangeran Wira Kasoema, karena meski anak permaisuri, mereka tersisih oleh anak selir dan oleh tokoh-tokoh yang diangkat oleh Belanda.
  5. Siti, ibu Gusti Andarun, bukan permaisuri, bahkan diceraikan tahun 1852, tapi anaknya tetap mengklaim gelar tinggi – ini yang menyebabkan distorsi sejarah.

Kesimpulan kritis:

Ini membuktikan bahwa dalam praktik sejarah Banjar, gelar tidak selalu mencerminkan garis keturunan biologis murni, tetapi dipengaruhi oleh:

POIN KRITIS TERKAIT PERAN WIRAKUSUMA

Fakta yang saya pertahankan:

Kesalahan sejarah modern yang saya protes:

Posisi Demang Lehman:

REKOMENDASI PERBAIKAN NARASI SEJARAH

  1. Gelar dan kedudukan tokoh-tokoh seperti Hidayatullah, Tamjidillah II, Wirakusuma, dan Rahmatillah harus dikembalikan berdasarkan data silsilah dan status ibu kandung, bukan berdasarkan tafsir masa kini yang bias.
  2. Kemendikbud, sejarawan lokal, dan yayasan keluarga bangsawan Banjar perlu bersinergi memperbaiki kurikulum dan buku sejarah agar tidak menyebarkan narasi yang salah dan merugikan tokoh yang seharusnya diakui.
  3. Silsilah resmi dan gelar-gelar perlu disahkan oleh lembaga adat atau forum sultan-sultan Nusantara agar punya rujukan baku.

Apa yang saya perjuangkan bukan hanya urusan genealogi atau gelar, melainkan kebenaran sejarah yang selama lebih dari satu abad telah dimanipulasi. Klaim dan argumentasi saya logis, berdasar, dan pantas untuk dijadikan rujukan ilmiah dan adat.

Berikut penjabaran ulang dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam, dengan alur yang runtut dan jelas:

Siapa itu Pangeran Wira Kasoema?

Pangeran Wira Kasoema adalah putra dari Sultan Muda Abdurrahman dengan istri Ketiganya yang sah, yaitu Permaisuri Ratu Halimah Abdurrahman. Karena lahir dari Permaisuri (bukan dari selir), maka status dan gelarnya sejak lahir “Pangeran” Bukan Gusti dan sepantasnya ia diakui sebagai bagian utama dari keluarga kerajaan.

Kenapa ada kesalahan di buku sejarah?

Sayangnya, dalam beberapa buku sejarah dan cerita yang beredar, ada kesalahan yang menyebut bahwa Pangeran Wira Kasoema adalah anak selir, bukan anak permaisuri. Ini adalah informasi yang keliru. Kesalahan ini sangat merugikan, karena bisa menurunkan martabat tokoh sejarah yang sebenarnya punya peran penting dalam Kesultanan Banjar.


Bagaimana sejarah sebenarnya?

  1. Permaisuri pertama Sultan Muda Abdurrahman adalah Ratu Salmiyah (atau disebut juga Ratu Salmah), putri dari Pangeran Mas’ud bin Raja Kusan II Pangeran Amir.Dari pernikahan ini, mereka mempunyai anak yaitu Pangeran Ratu Rahmatillah (yang saat itu menjadi Putra Mahkota).Tragisnya, Ratu Salmiyah dan anaknya, Pangeran Rahmatillah, meninggal dunia.
  2. Setelah itu, Sultan Muda Abdurrahman menikah lagi dengan istri sah kedua, yaitu Nyai Besar Aminah dan anaknya, Gusti Wayuri, menjadi Pangeran Mangkubumi Tamjidilah II.7 September 1851 – 9 Oktober 1856 dan 10 Juni 1852/1268 Hijriyah (Sultan Muda Banjar) dan 3 November 1857 – 25 juni 1859 (Sultan Banjar) dan adiknya Gusti Arya Kusuma mejadi Raja Kecil Bergelar pangeran Adipati Anom Dipati anom Arya Kusuma di Puruk cahu masa kini puruk cahuk wilayah Kalteng.
  3. Setelah itu, Sultan Muda Abdurrahman menikah lagi dengan istri sah ketiga, yaitu Permaisuri Ratu Halimah Abdurrahman.Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Wira Kasoema dan 6 saudara kandung lainnya, jadi total anak dari Ratu Halimah ada 7 orang.1841-3 November 1857 Bergelar Pangeran Ratu Anom-Pangeran Wira Kasoema Pangeran Ratu Abdurrahman.Mendampingi kakak nya sultan Tamjidilah II 3 November 1857 – 25 juni 1859 Pangeran Mangkubumi Wira kasuma II alwatsiqbillah (Wali Raja/Sultan Muda Banjar).25 juni 1859-11 juni 1860 Sultan Wira kasuma II alwatsiqbillah-Sultan De Facto Sultan Tamjidilah Mengurdurkan diri dari sultan Banjar dengan Sukarela.11 Juni 1860 Kesultanan banjar dibubarkan Sultan Wira kasuma II alwatsiqbillah-adalah Sultan De Facto Raja Sultan Terakhir Kesultan Banjar Secara Administrasi bukan sultan Proklamasi /Deklaratif.
  4. Setelah itu, Sultan Muda Abdurrahman menikah lagi dengan istri Muda keempat Gusti Siti → Selir, setelah mempunyai anak Gusti Andarun naik menjadi gelar Ratu Siti ibu dari Gusti Andarun naik jabatan bergelar Hidayatulah II Pangeran Mangkubumi Martapura 9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860 di pecat tidak hormat oleh belanda..Faktanya, Gusti Andarun adalah anak dari Siti, seorang istri muda Sultan Abdurrahman yang dinikahi setelah Sultan memiliki tujuh anak dari Ratu Halimah. Siti dinikahi saat masih sangat muda, sekitar usia 15 tahun, dan tidak pernah diangkat menjadi permaisuri, hanya berstatus selir atau istri muda. Karena itu, anaknya tidak berhak atas gelar “Pangeran” dan hanya menyandang gelar “Gusti”. lahr dengan nama Gusti Andarun.3 september 1859-2 maret 1862 proklamasi/deklaratif sebagai sultan Andarun / Pangeran mangkubumi Sultan Muda Martapura Hidayatullah II Halilillah , anak dari selir, tapi 3 september 1859-2 maret 1862 Sultan Proklamasi/ sultan Deklaratif wakil nya Mangkoe Negara mangkoe boemi lehman dipegangi keris singkir dan tombak kalibilah kesultanan sumbawa

Berikut ini penjelasan sejarah Sultan Muda Abdurrahman dan pergantian istrinya secara kronologisdibedakan secara jelas antara permaisuri (istri sah kerajaan) dan selir (istri muda/tidak diangkat secara adat). Tujuannya agar orang awam bisa memahami garis keturunan dan siapa saja yang berhak atas tahta Kesultanan Banjar.


 Sultan Muda Abdurrahman: Kronologi Istri, Anak, dan Status Kerajaan


 1. Istri Pertama (Permaisuri Tua)

 Nama: Ratu Salmiyah (juga dikenal sebagai Ratu Salmah)
 Garis keturunan: Putri dari Pangeran Mas’ud bin Raja Kusan II Pangeran Amir
 Status: Permaisuri resmi (istri sah pertama)
 Anak:

 Nasib:


 2. Istri Kedua (Selir Sah Kedua)

 Nama: Nyai Besar Aminah
 Status: selir
 Anak:

 Kejanggalan:


 3. Istri Ketiga (Permaisuri Sah Ketiga)

 Nama: Ratu Halimah Abdurrahman
 Status: Permaisuri resmi, istri sah kerajaan
 Anak:

 Karier Anak:


 4. Istri Keempat (Selir / Istri Muda)

 Nama: Gusti Siti
 Status: Selir, bukan permaisuri (tidak diangkat dalam adat)
 Anak:

 Fakta penting:

 Karier Anak (Gusti Andarun):


Kesimpulan untuk Orang Awam


Kesimpulan Utama:

Apa yang harus dilakukan?

Agar sejarah tidak terus-menerus salah kaprah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)sejarawan lokal, serta yayasan keluarga bangsawan Banjar perlu bekerja sama untuk:

Berikut adalah narasi sejarah lengkap mengenai Sultan Muda Muning Aling (Muhammad Mansur) dan perannya dalam sejarah Kesultanan Banjar serta keterlibatannya dalam konflik kekuasaan dan Perang Banjar:

SULTAN MUDA MUNING ALING (MUHAMMAD MANSUR) – SULTAN TANDINGAN DARI TAPIN

1. Latar Belakang Sejarah

Pada pertengahan abad ke-19, Kesultanan Banjar dilanda krisis politik menyusul wafatnya Sultan Adam Al-Watsiq Billah pada 1 November 1857. Pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan cepat menobatkan Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma).sebagai sultan Banjarmasin pada 3 November 1857. Penobatan ini ditentang oleh sebagian besar rakyat Banjar karena Tamjidillah II dianggap sebagai boneka Belanda. Tokoh-tokoh lokal yang setia kepada kedaulatan Banjar dan cita-cita Sultan Adam mulai menyusun perlawanan, termasuk Pangeran Antasari dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma).

Dalam konteks ini, muncul tokoh karismatik dari Tapin, Sultan Muda Muning Aling atau Panembahan Muda Muning (nama asli: Muhammad Mansur), yang mendeklarasikan pemerintahan tandingan melawan dominasi kolonial dan kepemimpinan Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma)

2. Gerakan Muning dan Struktur Kerajaan Tandingan

Sultan Muda Aling memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin spiritual dan politik. Ia mengaku sebagai “nabi” dan membentuk semacam teokrasi lokal di Kampung Kumbayau/Muning, Tapin. Di sana, ia mendirikan struktur kerajaan tandingan, lengkap dengan:

3. Hubungan dengan Pangeran Antasari dan Aksi Militer

Sultan Aling menjalin aliansi kuat dengan besanya Pangeran Antasari ayah mertua Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma), tokoh utama perlawanan Banjar yang kelak menjadi simbol perjuangan melawan kolonialisme. Dalam catatan sejarah, Aling bahkan menjadi besan dari Pangeran Antasari. Keduanya mengadakan pertemuan di Muning dan menyusun strategi perlawanan bersama terhadap Belanda.

Pada April 1859, Aling dan Antasari memimpin serangan terhadap tambang batu bara Belanda di Pengaron, sebuah aksi besar yang menandai pecahnya Perang Banjar secara terbuka.

4. Penjara & Ketidakhadiran Sultan Muda Praboe Anom

Sebelum gerakan Aling berkembang, Sultan Muda Praboe Anom (putra Sultan Adam) telah dijadikan tahanan oleh Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma) dan Belanda dan ditahan di Benteng Tatas pada 23 Februari 1858. Ketidakhadiran Praboe Anom sebagai penerus sah dari Sultan Adam menciptakan kekosongan legitimasi yang coba diisi oleh Sultan Muda Aling melalui pemerintahan tandingan.

5. Penolakan terhadap Matahari Kembar

Pemerintahan Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma) menolak klaim Aling dan Pangeran Antasari ayah mertua Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma), . Bagi Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma), hanya ada satu pemerintahan sah. Maka dimulailah penumpasan terhadap “matahari kembar”, yaitu pemerintahan tandingan yang dianggap ilegal dan mengancam stabilitas kekuasaan kolonial.

6. Nasib Akhir Gerakan Muning

Setelah beberapa pertempuran, pasukan Belanda dan Sultan Wira Kasoema (Sultan Wirakusuma) melakukan serangan besar-besaran terhadap basis gerilya di Tapin. Pusat kekuatan Muning diserbu di kawasan Tambai Mekah. Sultan Muda Aling diduga gugur dalam pertempuran atau hilang pada sekitar tanggal 30 Mei 1860 atau bertepatan dengan 9 Zulhijah dalam kalender Hijriah.

Ia dimakamkan di Desa Lawahan Cempaka, Kecamatan Tapin Selatan, yang hingga kini masih dikenang oleh sebagian masyarakat sebagai tempat bersejarah.

7. Penutup: Pembelajaran dari Sejarah Sultan Tandingan

Kisah Sultan Muda Aling dari Muning adalah potret nyata perlawanan lokal terhadap kolonialisme dan kekuasaan Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma) . Meskipun gerakan Muning berakhir dengan kekalahan militer, semangatnya tetap tercatat sebagai bagian dari epik Perang Banjar. Fakta bahwa Belanda dan pihak kerajaan resmi menolak keberadaan “matahari kembar” menunjukkan bahwa kekuasaan sah hanya diberikan kepada satu sultan – yakni Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma) – namun dukungan rakyat lebih cenderung kepada Pangeran Antasari ayah mertua Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Sultan Muda Wirakusuma) dan tokoh-tokoh seperti Aling.

Gerakan Muning menjadi pelajaran penting dalam sejarah Nusantara:

Bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat dan kebenaran spiritual akan ditantang – bahkan oleh kekuatan kecil dari pelosok Tapin.

Referensi & Catatan:

Kesimpulan:

Pangeran Wira Kasoema bukan anak selir, melainkan putra dari permaisuri sah, yaitu Ratu Halimah. Beliau berhak mendapatkan pengakuan penuh sebagai bangsawan utama dalam sejarah Kesultanan Banjar. Sudah waktunya sejarah yang salah dikoreksi agar kebenaran dan kehormatan keluarga kerajaan tidak terdistorsi oleh informasi keliru.

Kesimpulan dan Penjelasan Sejarah:

Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (yang juga dikenal sebagai Sultan WirakusumaBUKAN anak dari selir, melainkan putra dari permaisuri sah, yaitu Ratu Halimah. Ini artinya beliau adalah bangsawan utama dan berdarah murni, bukan keturunan dari istri simpanan atau istri tidak resmi.

Mengapa Ini Penting?

Dalam tradisi kerajaan Banjar dan adat keraton, asal-usul seorang pangeran sangat menentukan apakah ia pantas menjadi pewaris tahta atau tidak. Seorang anak dari permaisuri sah biasanya punya hak lebih kuat dibanding anak dari selir.

Fakta yang Mendukung:

Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema menikah dengan Putri Hasiah, yaitu putri kandung dari Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.

Coba pikirkan dengan logika orang biasa:
Kalau benar Wirakusuma hanya anak selir atau bukan bangsawan utama, apakah mungkin Pangeran Antasari mau menikahkan anak perempuannya dengan dia?

Tentu tidak.
Seorang pahlawan besar seperti Pangeran Antasari tidak mungkin sembarangan memilih menantu, apalagi untuk anak gadisnya yang bakal jadi permaisuri Kesultanan Banjar.

Kesimpulan untuk Orang Awam:

1.Pangeran Wira Kasoema alias Sultan Wirakusuma adalah putra sah dari istri utama kerajaan, Ratu Halimah.
2.Beliau layak dan pantas diakui sebagai pewaris tahta utama.
3.Pernikahannya dengan Putri Hasiah, anak Pangeran Antasari, adalah bukti bahwa status bangsawan beliau sangat tinggi dan dihormati.
4.Cerita bahwa dia anak selir adalah salah dan perlu diluruskan, supaya kehormatan keluarga kerajaan Banjar tidak dicemarkan oleh kabar yang tidak benar



SIAPA ITU TAMJIDILLAH II?

Status: Sultan versi Belanda (bukan adat)

Dilantik Jadi Sultan Banjar

Dikritik rakyat Banjar

SIAPA ITU PANGERAN WIRA KASOEMA (WIRAKUSUMA)?

Status: Sultan Muda & Wali Sultan (Kepala Pemerintahan)

Jabatan & Posisi:

Peran dalam pemerintahan:

PENGHASILAN & SUMBER KEKAYAAN

1. Pangeran Wira Kasoema (Wali Sultan / Sultan Muda Banjar):

Sumber PendapatanJumlah Penghasilan
Gaji resmi dari Belandaƒ 1.000 gulden per bulan = ƒ 12.000 gulden per tahun
Hasil tambang intan (Paramasan)40 tahil berlian per tahun ≈ ƒ 3.000 gulden
Kompensasi dari Sungai Gatal (Banjarmasin)ƒ 200 gulden per bulan = ƒ 2.400 gulden per tahun

Total perkiraan penghasilan tahunan Wira Kasoema:
ƒ 12.000 + ƒ 3.000 + ƒ 2.400 = ƒ 17.400 gulden per tahun
(Sangat besar untuk ukuran zaman itu.)


 PERBANDINGAN TAMJIDILLAH vs WIRA KASOEMA

KONFLIK YANG TERJADI

RANGKUMAN UNTUK ORANG AWAM

Tamjidillah II adalah Sultan versi Belanda, dilantik tanpa persetujuan rakyat, dan bukan keturunan permaisuri utama.
Sedangkan Wira Kasoema adalah anak dari istri utama (Permaisuri Ratu Halimah), yang sah menurut adat, dan menjalankan pemerintahan sebagai Wali Sultan dan akhirnya menjadi Sultan De Facto (penguasa sebenarnya).

Wira Kasoema mendapat gaji sangat besar, menjalankan tugas-tugas penting kerajaan, dan menjadi tokoh penting sebelum Kesultanan Banjar dibubarkan Belanda.

Aksesi

Ketika Sultan Adam al-Watsiq Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857 karena sakit,pemerintah Hindia Belanda menobatkan Tamjidullah II sebagai sultan Banjar yang baru di Banjarmasin Pada tahun 1274 Hijriyah, yang bertepatan dengan tanggal 3 November 1857, dipilih sebagai pusat pemerintahannya,dimana penobatan ini ditentang oleh rakyat Banjar Sehari setelah penobatannya, Setelah Pemerintah kolonial Hindia Belanda melantik Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah menjadi Sultan Banjar tanggal 3 November 1857,Sultan Tamjidillah II dilantik oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai Sultan Banjar lahir 1816 berusia 41 tahun sewaktu dilantik Sultan Banjar pada tanggal 3 November 1857. didampingi Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (wirakusuma) Kepala Pemerintah Negri Kesultanan Banjar 1857-1859 Mangkubumi Banjamasin memperoleh gaji bulanan f 1.000 gulden (f 12.000 gulden setahun) Penghasilan sebagai Mangkubumi kerajaan Banjar yang pendapatannya diambil dari hasil pungutan dari Tambang Paramasan 40 tahil intan Berlian, (tambang intan Berlian) senilai 40 tahil @75 – 3.000 setahun lobang intan di Titian Taras, dan Penghasilan kompensasi (f 200 gulden perbulan dari hasil pungutan dari sungai Gatal, Banjarmasin. lahir 1822 berusia 35 tahun sewaktu diumumkan pada 3 November 1857. Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah adalah cucu Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tamjidillah II Anak dari Nyai Besar Aminah seorang Putri Dayak Tionghoa ,phan tong fang (petompang),setelah kematian Sultan Adam al-Watsiq Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857, Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom di Martapura dengan pendampingnya Pangeran Mangkubumi Hidayatulah di Martapura Sebagai Vazal Tandingan di Banjarmasin Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema di Banjarmasin.Setelah Pemerintah kolonial Hindia Belanda melantik Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Tamjidillah menjadi Sultan Banjar tanggal 3 November 1857, maka pada tanggal 4 November 1857 Residen mengizinkan dengan bantuan serdadu yang ada di Martapura untuk menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom di Martapura pergi ke Martapura lari dari tahanannya di Banjarmasin (sekarang Kelurahan Melayu) karena mengurusi pemakaman ayahnya Sultan Adam al Watsiq Billah. Alasannya dan tuduhan yang dikenakan pada Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom ialah bahwa di Martapura membahayakan tahta, tetapi penangkapan itu tidak berhasil. Rakyat menjadi saksi atas tindakan Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema di Banjarmasin dalam usahanya menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom. Lima hari setelah pemakaman Sultan Adam Al Wasik Billah yang sangat dicintai rakyat, keraton Martapura ditembaki serdadu Belanda untuk menangkap Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom.


Penjabaran Sejarah Penobatan Sultan Tamjidillah II dan Peran Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (juga dikenal sebagai crown prince Sultan Muda Wirakusuma)

1. Latar Belakang Penobatan:
Pada tanggal 3 November 1857 Masehi atau 1274 Hijriyah, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara resmi melantik Pangeran Sultan Muda Tamjidillah sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Tamjidillah II. Saat penobatannya, Tamjidillah II berusia 41 tahun (lahir tahun 1816).

2. Lokasi dan Kepentingan Politik:
Penobatan ini berlangsung di Banjarmasin, yang saat itu dipilih sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar oleh kolonial Belanda. Ini merupakan langkah politik Belanda yang tidak hanya menandai pengangkatan Sultan baru, tetapi juga memperkuat kontrol kolonial atas wilayah Kesultanan Banjar.

3. Penolakan Rakyat Banjar:
Namun, penobatan ini ditentang keras oleh rakyat Banjar. Penolakan tersebut berakar pada ketidakpuasan rakyat terhadap intervensi Belanda dalam urusan internal kesultanan, terutama dalam menentukan siapa yang berhak menjadi sultan. Selain itu, sebagian besar rakyat lebih mendukung Pangeran Hidayatullah sebagai penerus sah Sultan Adam.

4. Peran Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma Sultan Muda (crown prince)):
Dalam masa transisi kekuasaan ini, Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (juga dikenal sebagai crown prince Sultan Muda Wirakusuma) memegang peran penting sebagai Kepala Pemerintahan Negeri Kesultanan Banjar atau Mangkubumi Banjarmasin. Ia menjabat pada periode 3 November 1857 hingga 25 juni 1859.

Sebagai Mangkubumi, ia merupakan pejabat tertinggi setelah Sultan, dan secara de facto menjadi pelaksana kekuasaan administratif dalam negeri. Dalam konteks penobatan Sultan Tamjidillah II, Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (juga dikenal sebagai crown prince Sultan Muda Wirakusuma) mendampingi proses tersebut, baik dalam fungsi seremonial maupun administratif, meskipun ia kemungkinan berada dalam posisi terjepit antara loyalitas kepada Kesultanan dan tekanan dari pihak kolonial.

5. Situasi Politik Pasca Penobatan:
Sehari setelah pelantikan, situasi di Banjar memanas. Penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan bangsawan menyebabkan konflik terbuka yang pada akhirnya bermuara pada Perang Banjar (1859–1863), yang dipimpin oleh tokoh-tokoh perlawanan seperti Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.

6. Simpulan:
Penobatan Sultan Tamjidillah II pada 3 November 1857 menjadi titik balik sejarah Kesultanan Banjar. Intervensi Belanda dalam penobatan ini tidak hanya menyulut konflik internal, tetapi juga memicu perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan kolonial. Dalam pusaran politik ini, Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (juga dikenal sebagai crown prince Sultan Muda Wirakusuma) tampil sebagai tokoh kunci administrasi negeri, menjembatani antara kekuasaan tradisional Banjar dan tekanan dari otoritas kolonial.

Profil singkat Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma)

Pendapatan/Penghasilan (1857–1859)

  1. Gaji bulanan dari pemerintah kolonial Belanda sebesar ƒ 1.000 gulden, atau ƒ 12.000 per tahun.
  2. Pendapatan dari tambang berlian Paramasan:
    • Hasil pungutan dari Tambang Paramasan di Titian Taras senilai 40 tahil intan berlian. Nilai per tahil ≈ ƒ 75, sehingga total sekitar ƒ 3.000 per tahun.
  3. Kompensasi dari pungutan di Sungai Gatal:
    • Tambahan ƒ 200 per bulan, yakni ƒ 2.400 per tahun.

Total estimasi pendapatan tahunan ≈ ƒ 17.400 gulden plus hasil berlian.

Lokasi dan Status Usaha Tambang & Wilayah Paramasan

Ringkasan Historis

AspekKeterangan
Nama & gelarPangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma); Sultan Muda Crown Prince, Mangkubumi Banjarmasin
Usia saat 3 Nov 185735 tahun
Penghasilanƒ 12.000 gaji + ƒ 3.000 berlian + ƒ 2.400 kompensasi = sekitar ƒ 17.400 per tahun
Lokasi tambangTitian Taras, Paramasan tambang intan Cempaka—lokasi tradisional pendulangan intan di Kalimantan Selatan dekat Banjarbaru/Banjarmasin— adalah bukti kuat bahwa kegiatan pendulangan intan punya akar panjang di wilayah Banjar dan Sungai Gatal
Status wilayah kiniParamasan masih merupakan kecamatan di Kabupaten Banjar, Kalsel
Tambang intanTradisi pendulangan intan rakyat di Cempaka dan Paramasan pernah menjadi monopoli kesultanan, kini bagian wilayah Banjar/Kota Banjarbaru

Apakah lokasi Paramasan & Tambang Paramasan masih ada?

Kesimpulan

Berikut ini penjabaran status kekuasaan Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Wira Kasoema (Wirakusuma) secara jelas, runtut, dan mudah dipahami, termasuk posisi mereka dalam struktur kekuasaan Kesultanan Banjar saat itu serta gaji dan sumber pendapatan masing-masing:


SITUASI POLITIK PASCA WAFATNYA SULTAN ADAM (1 November 1857)

Setelah Sultan Adam Al-Watsiq Billah wafat pada 1 November 1857, muncul dua pusat kekuasaan di Kesultanan Banjar:

  1. Di Banjarmasin → Sultan Tamjidillah II (dan Pangeran mangkubumi Wirakusuma II)
  2. Di Martapura → Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom (dan Pangeran mangkubumi Hidayatulah II)

1. SULTAN TAMJIDILLAH II AL-WATSIQ BILLAH

 Identitas:

 Status kekuasaan:

 Catatan penting:

2. PANGERAN WIRA KASOEMA (WIRAKUSUMA)

 Identitas:

 Status kekuasaan:

GAJI & SUMBER PENGHASILAN

 Pangeran Wira Kasoema (Wira Kasoema II / Wali Sultan):

PERBEDAAN STATUS TAMJIDILLAH II vs WIRA KASOEMA

KONFLIK POLITIK

KESIMPULAN

Sultan Muda Pangeran Praboe / Pangeran Praboe Anom / Pangeran Praboe Citra / Pangeran Praboe Abdullah turut terlibat dalam perjuangan melawan kekuatan kolonial yang mencoba menguasai wilayah Banjar. Ia berusaha mempertahankan kedaulatan kerajaan dari ancaman eksternal.Konflik Internal Seperti banyak kerajaan lainnya, Kerajaan Banjar juga menghadapi konflik internal, namanya dikaitkan dengan Mangkubumi Hidayatulah di Martapura Sebagai Vazal Tandingan di Banjarmasin Sultan Tamjidilah Dan Mangkubumi Wira Kasoema baik dalam bentuk persaingan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan maupun pemberontakan dari kelompok-kelompok yang tidak puas. pada tanggal 21 november 1857 Sultan Muda Pangeran Praboe / Pangeran Praboe Anom / Pangeran Praboe Citra / Pangeran Praboe Abdullah akhirnya Prabu Anom berhasil ditangkap oleh Pangeran Mangkubumi Hidayatulah menyerahkan kepada Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema di Banjarmasin.De bandjermasinsche krijg van 1859-1863, Volume 1 Oleh Willem Adriaan Rees halaman 17 https://books.google.co.id/books/content?id=JRQ5AQAAIAAJ&hl=id&pg=PA17&img=1&zoom=3&sig=ACfU3U2CzK4QPVfltT9DpE3uVT3KPAQ3Ng&w=1025 kemudian Sultan Muda Pangeran Praboe / Pangeran Praboe Anom / Pangeran Praboe Citra / Pangeran Praboe Abdullah dijebloskan ke penjara benteng Tatas selama 90 hari sejak 21 november 1857 – 23 Februari 1858.Sultan Tamjidullah al-Watsiq Billah menandatangani surat pengasingan pada tanggal 23 Februari 1858 dan Pangeran Mangkubumi Banjarmasin Wira kasoema menandatangani surat yang menyetujui pengasingan Belanda atas pamannya Prabu Anom ke Jawa.menandatangani surat pengasingan pada tanggal 23 Februari 1858.Sultan Muda Prabu Citra Pangeran Praboe Anom dengan Nyai Ratu Kamala Sari, yang kemudian diasingkan ke Kota Bandung di awal tahun 1858 pada tanggal 23 Februari 1858. dan akhirnya ia diasingkan karena dianggap membahayakan jika berada di Banjarmasin dan kemudian dibuang ke Pulau Jawa Barat Peristiwa pengasingan ini membuat geram bangsawan lainnya.serta mengakibatkan keadaan keraton Bumi Kencana Martapura tegang dan tidak kondusif. Muncul gerakan perlawanan terhadap kepemimpinan Pemerintahan Banjarmasin yang dimulai oleh tokoh karismatik bernama Panglima Aling Datu Aling Panembahan Muda Aling Sultan Muda Aling atau Panembahan Muning dari Tapin, dimana pengikut gerakan ini semakin bertambah banyak karena banyak rakyat yang tidak puas terhadap kepemimpinan Pemerintahan Banjarmasin.

Berikut adalah penjabaran khusus mengenai peristiwa penangkapan Sultan Muda Pangeran Praboe / Praboe Anom / Praboe Citra / Praboe Abdullah pada 21 November 1857, sebagaimana disebut dalam buku “De Bandjermasinsche Krijg van 1859–1863” karya Willem Adriaan Rees (halaman 17):

Latar Belakang Konflik

Pada masa menjelang meletusnya Perang Banjar, wilayah Kesultanan Banjar dilanda kekacauan politik. Salah satu penyebabnya adalah intervensi kolonial Hindia Belanda dalam urusan suksesi dan pemerintahan internal kerajaan. Setelah wafatnya Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1 November 1857), muncul berbagai faksi kekuasaan yang saling bersaing, termasuk:

Peran Sultan Muda Pangeran Praboe Anom

Pangeran Praboe Anom adalah seorang bangsawan penting di Kesultanan Banjar yang dianggap sebagai pesaing kuat Tamjidillah II. Karena pengaruh dan ketokohannya, Praboe Anom dianggap ancaman langsung terhadap pemerintahan yang telah direstui Belanda. Ia berperan sebagai pemimpin internal oposisi, terutama terhadap struktur kekuasaan yang dipaksakan oleh Belanda.

Konflik Internal dan Penangkapan

Pada 21 November 1857, situasi memanas ketika Pangeran Praboe Anom berhasil ditangkap dalam suatu operasi yang melibatkan dua tokoh penting:

  1. Pangeran Mangkubumi Hidayatullah – Berperan sebagai lawan politik Praboe Anom dan menjadi vazal tandingan di Martapura, dengan dukungan beberapa tokoh adat dan rakyat.
  2. Pangeran Mangkubumi Wira Kasoema (Wirakusuma) – Kepala pemerintahan di Banjarmasin yang loyal terhadap struktur pemerintahan resmi Kesultanan di bawah pengaruh Belanda.

Penangkapan ini menjadi titik balik politik karena menunjukkan bahwa faksi pendukung Tamjidillah (dan Belanda) mulai menguat, sementara oposisi yang diwakili oleh Praboe Anom mengalami pukulan telak.

Penyerahan ke Sultan Tamjidillah

Setelah ditangkap, Pangeran Praboe Anom diserahkan secara resmi oleh kedua Mangkubumi tersebut kepada Sultan Tamjidillah al-Watsiq Billah di pusat pemerintahan Banjarmasin. Peristiwa ini mengesahkan kekuasaan Tamjidillah di mata kolonial sebagai penguasa tunggal, meskipun di akar rumput masih banyak perlawanan terhadapnya.

Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai tindakan legitimasi: bahwa siapa pun yang menentang pemerintahan resmi akan dihukum atau disingkirkan, bahkan jika mereka berasal dari darah kerajaan.

Sumber Sejarah

Keterangan ini tercantum dalam sumber primer Belanda:

De Bandjermasinsche krijg van 1859–1863, Volume 1 oleh Willem Adriaan Rees, halaman 17
Google Books Link (hal. 17)

Penangkapan Praboe Anom ini menandai permulaan ketegangan besar yang kemudian meledak menjadi Perang Banjar (1859–1863), di mana Pangeran Antasari dan banyak tokoh lain mengambil peran besar dalam perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Meskipun Tamjidillah berhasil menyingkirkan lawan politiknya di awal, konflik yang lebih besar sudah tak terbendung.

Berikut adalah kisah terstruktur mengenai Sultan Muda Pangeran Praboe (Anom, Citra, Abdullah) dan dinamika politik di Banjar pada periode 1857–1863, dengan fokus pada konflik internal, penangkapan, pengasingan, hingga keterlibatan Wira Kasoema sebagai Sultan de facto sebelum pembubaran Kesultanan.

1. Latar Belakang Politik dan Persaingan

2. Penangkapan dan Pengasingan Pangeran Praboe Anom

3. Wira Kasoema (Pangeran Mangkubumi) sebagai Sultan de facto

4. Ringkasan Kronologi

Tanggal / TahunPeristiwa
1 Nov 1857Wafatnya Sultan Adam Kita al‑Watsiq Billah
3 Nov 1857Tamjidillah II dinobatkan Sultan Banjar; Wira Kasoema sebagai Mangkubumi
4 Nov 1857–Feb 1858Pangeran Praboe Anom ditangkap dan dijebloskan di Benteng Tatas
23 Feb 1858Surat pengasingan Praboe Anom ke Bandung ditandatangani
25 Jun 1859Tamjidillah II dicopot; fungsi pemerintahan berpindah
1859–1862Perang Banjar dipimpin oleh Hidayatullah II dan Pangeran Antasari
1862Hidayatullah ditangkap dan diasingkan; Belanda membubarkan Kesultanan, beralih ke Pagustian Banjar

5. Kesimpulan Konteks Sejarah

Sejarah Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah

I. Identitas dan Latar Belakang

Nama Lengkap:
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Gelar:
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
(Menggunakan gelar “Al-Watsiq Billah” sebagaimana tradisi sultan Banjar yang menunjukkan legitimasi kekuasaan religius dan politik)

Lahir: Martapura, Kesultanan Banjar, sekitar pertengahan abad ke-19
Wafat: Cianjur, Hindia Belanda, pasca pengasingan

II. Garis Keturunan

Sultan Wirakusuma berasal dari trah utama Kesultanan Banjar:

III. Konteks Politik dan Sosial

Setelah wafatnya Sultan Adam, Banjar mengalami krisis suksesi. Belanda, yang sudah mencampuri urusan internal sejak pertengahan abad ke-19, mendorong penobatan Sultan Tamjidillah II, yang dinilai lemah dan kooperatif terhadap kolonial.

Pangeran Wirakusuma (saat itu masih bergelar Pangeran Ratu Abdurrahman) adalah Wali Sultan atau pemangku kekuasaan sejati Kesultanan Banjar yang menolak penobatan Tamjidillah II dan dianggap mewakili aspirasi rakyat Banjar.

IV. Perjuangan Melawan Dominasi Kolonial

Sebagai Wali Sultan, Wirakusuma menolak kolaborasi dengan Belanda dan memimpin perlawanan secara politik dan administratif dari pusat kekuasaan Kayu Tangi. Ia merupakan pemimpin konservatif yang:

V. Pengasingan dan Akhir Riwayat

Pada tanggal 2 Maret 1862, Sultan Wirakusuma ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, sebagai bagian dari strategi kolonial untuk menghabisi pengaruhnya dan Pengasingan ini menandai akhir formal dari kekuasaan tradisional Kesultanan Banjar, meskipun perlawanan rakyat masih terus berlanjut di bawah pimpinan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma dan tokoh-tokoh lainnya.

VI. Warisan dan Keturunan

Sultan Wirakusuma meninggalkan garis keturunan utama yang menyebar ke berbagai wilayah:

Beberapa keturunannya masih mempertahankan gelar kebangsawanan dan menjadi penjaga budaya serta sejarah Kesultanan Banjar.

VII. Referensi dan Sumber Sejarah

  1. Arsip Kolonial Hindia Belanda (Landsarchief Batavia) – Laporan pengasingan elit Banjar tahun 1862
  2. Kitab Silsilah Kesultanan Banjar – disalin oleh Kiai Demang Hadji Muhammad Thaib (arsip keraton)
  3. Hikayat Banjar (edisi huruf Arab Pegon dan Latin)
  4. Catatan Sejarah Lokal Martapura dan Cianjur – wawancara lisan dari keturunan Pangeran Wirakusuma
  5. “Perang Banjar 1859–1905” oleh Prof. Dr. Saleh Daulay
  6. De Banjermasinsche Oorlog – Tijdschrift van Nederlandsch Indië (1860–1870)
  7. Museum Wasaka dan Arsip Daerah Kalsel

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah adalah tokoh transisi penting dalam sejarah Banjar yang tidak hanya memainkan peran administratif sebagai Sultan, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kolonial dan krisis identitas kerajaanMeskipun tidak pernah resmi dinobatkan sebagai sultan dalam upacara besar akibat tekanan kolonial, legitimasi genealogis dan dukungan rakyat menempatkannya sejajar dengan para sultan sah lainnya.

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

(Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II / Sultan Wirakusuma bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah)
Lahir: 19 Agustus 1822, Martapura
Wafat: 6 Juni 1901, Pengasingan di Jawa Barat
Makam: Cianjur, Jawa Barat
Pemerintahan & Gelar: Sultan Banjar / Pengganti Sementara Sultan De Facto setelah pengasingan Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah

1. Latar Belakang Keluarga dan Silsilah

Sultan Wirakusuma adalah keturunan langsung dari Dinasti Kesultanan Banjar:

Beliau dibesarkan di lingkungan keraton dan mendapat pendidikan agama dan politik yang kuat. Sebagai putra bangsawan utama, beliau sejak muda disiapkan untuk posisi strategis dalam pemerintahan.

2. Peran Politik dan Kepemimpinan

Pada masa akhir kekuasaan Sultan Tamjidillah II (1857–1859), Kesultanan Banjar mengalami krisis akibat intervensi kolonial Hindia Belanda, ketidakstabilan internal, serta pecahnya Perang Banjar (1859–1905). Setelah Tamjidillah II diasingkan pada 25 Juni 1859, Belanda membutuhkan sosok yang loyal, kuat secara moral, dan diterima oleh masyarakat Banjar.

Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II kemudian diangkat sebagai Sultan De Facto pada 3 November 1859 hingga 11 Juni 1860, berperan sebagai pemangku pemerintahan sementara, karena tidak diangkat sebagai Sultan secara penuh oleh Belanda.

Perannya sangat penting:

3. Pengasingan dan Akhir Hayat

Pada tanggal 2 Maret 1862, Belanda Menangkap kepala gerakan perlawanan. Ia pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Di sanalah beliau wafat pada 6 Juni 1901 dalam status sebagai Kepala Pemberontak tokoh politik pengasingan.

4. Warisan, Keturunan, dan Pengaruh

Sultan Wirakusuma meninggalkan garis keturunan yang dikenal sebagai Pagustian Wirakusuma, yang terus menjaga adat, budaya, dan sejarah Kesultanan Banjar.

Anak dan cucunya meliputi:

Hingga kini, keturunannya masih aktif dalam pelestarian sejarah Banjar di Kalimantan Selatan dan Jawa Barat.

5. Referensi dan Arsip

6. Kesimpulan

Sultan Wirakusuma merupakan simbol ketahanan budaya dan politik Banjar dalam masa transisi kekuasaan kolonial. Meskipun tidak pernah ditetapkan secara formal sebagai Sultan penuh, peran beliau sebagai Sultan di masa genting adalah krusial dalam sejarah Kalimantan Selatan. Keberanian, kehati-hatian politik, dan kesetiaan terhadap bangsanya membuat beliau dikenang sebagai tokoh luhur Pagustian Banjar.

PIAGAM SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH

Yayasan Pangeran Wirakusuma. Cianjur Jawa Barat

Atas Nama Sejarah dan Warisan Kebesaran Bangsa,

Kami menyusun dan menetapkan Piagam Sejarah Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah, sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian terhadap pemimpin agung yang telah berjasa menjaga martabat dan eksistensi Kesultanan Banjar di masa transisi serta tekanan kolonial.

I. Identitas Tokoh

Nama Lengkap:
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

Nama Kecil:
Pangeran Wira Kasoema

Garis Keturunan:
Putra dari Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah.

Masa Pengabdian:
±1857 – 1862 M
Masa pengasingan dan perjuangan setelah krisis suksesi dan intervensi kolonial.

II. Kedudukan dan Peran

III. Kontribusi dan Warisan

  1. Menjaga Keutuhan Pagustian Banjar saat masa genting tahun 1857–1862
  2. Pemimpin Pengganti Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah secara moral dan kultural
  3. Penghubung Kekuasaan Islam dan Tradisi Kerajaan dalam sistem pemerintahan Banjar
  4. Diusir, Ditangkap dan Diasingkan ke Cianjur karena dianggap membahayakan kekuasaan kolonial
  5. Menjadi Simbol Perjuangan dan Keberanian bagi generasi penerus Banjar

IV. Tempat Bersejarah

V. Gelar Kehormatan (Posthumous Titles)

VI. Referensi dan Sumber Sejarah

VII. Penutup

Piagam ini disusun sebagai bentuk penghargaan, dokumentasi sejarah, dan penguatan identitas Banjar dalam bingkai adat, agama, dan perjuangan. Semoga menjadi inspirasi generasi penerus untuk melanjutkan semangat, kehormatan, dan kesetiaan terhadap leluhur dan tanah air.

Cianjur, 29 Juli 2025
Atas Nama Pagustian Banjar dan Pemerhati Sejarah Kalimantan Selatan

Yayasan Pangeran Wirakusuma Cianjur Jawa Barat


ꦥꦿꦱ꧀ꦱꦶꦠꦶ ꦕꦺꦴꦤ ꦮꦶꦫꦏꦸꦱꦸꦩꦄꦭ꧀ꦮꦠ꧀ꦱꦶꦏ꧀ꦧꦶꦭ꧀ꦭꦃ

PRASASTI KEHORMATAN SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pada hari ini, dengan penuh rasa hormat dan takzim kepada para leluhur Kesultanan Banjar, maka disusunlah suatu Piagam Prasasti Digital untuk mengenang dan mengabadikan:

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia

Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Yang merupakan Sultan Banjar, penerus darah biru Pagustian, pemangku amanah, penjaga martabat, dan simbol keteguhan dalam masa sulit kolonialisme.

Riwayat dan Kedudukan

Warisan dan Keteladanan

“Mereka mungkin menghapus tahta, tapi tidak bisa menghapus semangat dan darah Sultan dalam jiwa keturunannya.”

Pernyataan Kehormatan

Dengan ini dinyatakan bahwa:

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah adalah penjaga warisan agung Banjar yang sah secara adat, darah, dan sejarah.

Maka ditetapkanlah prasasti kehormatan ini sebagai bukti cinta, hormat, dan penghargaan terhadap perjuangan beliau dan para penerusnya.

Ditetapkan di:

Yayasan Pangeran Wirakusuma / Kabuyutan Pagustian Nusantara
Tanggal: 28 Juli 2025 / 1 Safar 1447 H
Dipersembahkan oleh para penelusur silsilah dan pelestari sejarah Banjar


TOMBAK PERJUANGAN KESULTANAN BANJAR

Milik: Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Deskripsi:

Tombak ini merupakan salah satu pusaka penting yang dibawa oleh Sultan Wirakusuma saat beliau diasingkan ke Cianjur oleh pemerintah kolonial Belanda. Mata tombak adalah asli dari masa Perang Banjar, dan telah mengalami langsung pertempuran dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat Kesultanan Banjar dari invasi penjajah.

Gagang aslinya patah dalam suatu pertempuran sengit, dan diganti dengan kayu baru yang difungsikan untuk tetap menjaga keberlangsungan nilai pusaka ini.

Makna dan Nilai:

Tombak ini melambangkan semangat perlawanan, keteguhan, dan kehormatan bangsa Banjar.

Gagang baru menjadi penanda bahwa perjuangan tak pernah padam, meski sempat patah oleh kekerasan zaman.

Dibawa hingga ke tanah pengasingan, pusaka ini menjadi lambang kerinduan dan tekad untuk kembali mengangkat kejayaan Banjar.

Status:

1.Mata tombak: Asli dari masa perang

2.Gagang tombak: Diganti pasca-patah dalam Perang Banjar

3.Nilai sejarah: Tinggi

4.Nilai spiritual: Tinggi

Disusun oleh:

Pewarisan Pagustian Banjar

Didokumentasikan sebagai warisan sejarah perjuangan Kesultanan Banjar

Tahun: 2025

Mengapa Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah membawa kayu itu ke pengasingan di Cianjur?

Mengapa Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah membawa kayu itu ke pengasingan di Cianjur? Mari kita bahas dari beberapa sisi: kayu ulin kayu besi,yang sangat terkenal dari Kalimantan. Kayu ini memang sangat keras, awet, dan tahan terhadap serangga maupun cuaca ekstrem, sehingga digunakan secara simbolik dan fungsional di lingkungan kerajaan.

1. Makna Simbolik dan Sakral

Di lingkungan kerajaan Banjar, kayu ulin atau kayu besi sering dianggap benda pusaka atau simbol kekuatan spiritual, sama seperti tombak, keris, atau benda keramat lainnya. Kemungkinan kayu tersebut:

Dilambangkan sebagai “penjaga pusaka kerajaan”.

Menjadi penyimbol kekuatan Banjar yang tidak bisa dihancurkan meski keratonnya diruntuhkan Belanda.

Dibawa sebagai pengingat tanah asal, harga diri, dan identitas Banjar.

🔍2. Fungsi Tersembunyi (Pusaka atau Tempat Menyimpan Sesuatu)

Bentuknya panjang dan berat, bisa saja kayu itu berlubang di dalamnya atau dibelah untuk menyimpan:

Manuskrip, surat wasiat, peta rahasia, atau pusaka keluarga.

Bahkan dalam sejarah Nusantara, senjata pusaka, jimat, hingga logam mulia kadang disimpan dalam batang kayu yang disamarkan.

🔍3. Sebagai Simbol Perlawanan dan Janji Kembali

Saat Sultan Wirakusuma dibuang, membawa kayu ulin mungkin adalah:

Tanda bahwa ia akan kembali membangun Banjar.

Kayu ulin sebagai bibit kembali berdirinya kekuasaan Banjar, karena ulin adalah kayu fondasi rumah adat Banjar.

🔍4. Tradisi dan Filosofi Banjar

Dalam budaya Banjar:

Ulin tidak mudah lapuk, diibaratkan sebagai tekad dan keteguhan hati.

Dulu banyak digunakan untuk tiang keraton, jembatan, bahkan peti pusaka.

🔍5. Ada Apa Dalam Kayu Itu? Pertanyaan Yang sangat relevan: “Seperti bernilai intan, emas, berlian saja”.

Memang, bisa saja di dalam atau di balik kayu itu ada benda pusaka atau isi rahasia, karena:

Belanda sering merampas harta dan pusaka.

Maka menyamar menjadi “hanya kayu” adalah strategi cerdas untuk membawa sesuatu yang berharga keluar dari tanah Banjar.

Penutup

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah bukan orang sembarangan. Membawa kayu ulin/besi bukan tindakan tanpa makna. Bisa jadi itu:

✅Simbol kekuatan

✅Tempat menyimpan rahasia atau pusaka

✅Bukti perlawanan diam-diam terhadap penjajah

✅Doa untuk kebangkitan Banjar

“Jejak Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah: Warisan Banjar yang Tak Terlupakan”

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah adalah tokoh bangsawan Kesultanan Banjar yang dikenal sebagai pejuang gigih melawan kolonialisme. Sebagai menantu Pangeran Antasari dan keturunan Sultan Adam, warisan perjuangan dan kehormatannya terus hidup melalui keturunannya hingga generasi ke-6. Temukan kisah kepahlawanan dan silsilah mulia beliau dalam artikel ini.

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah Mempunyai anak 6 orang serta turunan yaitu

1. Ratu Hatidja/ Ratoe Sjerief Aboe Bakar Mempunyai Anak 1 Orang Yaitu :

.1 Syarifah Ratu Intan II

——–

2.Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III ada 13 Anak dari 3 istri Bangsawan:

1. Pangeran Isa Nata Kusumah

2. Pangeran Musa

3. Pangeran Aburachman

4. Pangeran Nuh

5. Pangeran Abdullah

6. Pangeran Muhammad Yusuf

7. Gusti Hasan

8. Gusti Husin

9. Gusti Ahmad

10. Ratu Siti Aisah

11. Ratu Maryam

12. Ratu Jamrud

13. Gusti Asiah

——–

3. Ratu Hapsa / Haspah Mempunya Anak 3 Orang Yaitu :

1 Pangeran Ahmad

2 Pangeran Nor

3 Ratu Dijah

———

4. Ratu Hasiah Mempunya Anak 2 Orang Yaitu :

1 Pangeran Syahbana

2 Pangeran Ismail

——–

5. Gusti Ainun Jariah (Ratu Ainoen Djaria) Mempunyai Anak 3 Orang Yaitu:

5.1 Pangeran Ismail

5.2 Ratu Hawa

5.3 Ratu Esah

——–

6. Gusti Hatidja tidak ada keturunan Gugur dalam perang Banjar

——–

KETURUNAN Putra sulung تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III ada 13 Anak dari 3 istri Bangsawan:

——–

Istri Pertama: Ratu Sari Banun binti Sultan Hidayatullah II

Anak-anak:

Pangeran Nuh

Pangeran Abdullah (berputra Pangeran Dawud)

Pangeran Muhammad Yusuf

Ratu Maryam

Ratu Jamrud

Ratu Siti Aisah (berputra: Ratu Zahra, Pangeran Abas, Ratu Hapsah, Pangeran Hz. Karta Kusuma)

——–

Istri Kedua: Nyai Laitem

Anak-anak:

Gusti Hasan Hasbullah (hingga Gusti Noor Syapni sebagai keturunan ada di samarinda kaltim)

Gusti Husin

Gusti Ahmad

Gusti Asiah

——–

Istri Ketiga: Nyai Omoh Dewi Nawangsih

Anak-anak:

Pangeran Isa Nata Kusumah Wirakusuma IV ada 2 istri yaitu + NYAI ENJUM + NYAI ENNY

Anak-anak:

1.Ratu Sunarsah (Bi Cicah) almarhum

2.Pangeran Abu Bakar (Abah Babay) almarhum

3.Ratu Zaleha anak NYAI ENNY

Pangeran Acep Muhammad Saleh anak NYAI ENNY (berputra 10 orang, termasuk 1. RATU RUSTINI 2. PANGERAN MACHDI S 3. PANGERAN IDRIS MD 4. RATU MINRTASIH SZ 5. RATU MAULANI S 6. PANGERAN JAYA S 7. RATU DJALEHA M 8. PANGERAN MUHAMMAD BANJAR K 9. RATU DJUWARSIH S 10. RATU DJUMALIA K)

4.Ratu Zaenab, anak NYAI ENNY

5.Ratu Aisah, anak NYAI ENNY

6.Pangeran Yusuf, anak NYAI ENNY

7.Ratu Syarifah anak NYAI ENNY

——–

Pangeran Musa Wirakusuma IV + RADEN ENUNG MAEMUNAH BINTI KH RADEN SOBARI

Anak-anak ada 9:

1,RATU RUKIYAH RINAYATIN (ALMARHUM UA TETEN)

——–

2.RATU HINDUN ( ALMARHUM UA IIN)

——–

3.RATU YUYU DJUWARIAH / RATU YUYU WAHYU NINGSIH+ Radja Unsa Djamita Mangaradja Mempunyai Anak 5 Yaitu: 1.Pangeran Morhan ,2.Pangeran Bernard Mempunyai Anak 3 Yaitu:Gusti Enggelica, Gusti Sarah, Gusti Ester.3.Ratu Else 4.Henry (Gusti Pangeran Wirakusuma VI) Mempunyai Anak 1 Yaitu: Gusti Shelomita Christin 5. Pangeran Daniel Mempunyai Anak Gusti Dafi

——–

4.PANGERAN YACHYA

——–

5.PANGERAN DJADJA ALMARHUM + Ratu Siti Djalfah Mempunyai Anak 2 Orang Yaitu :1.Ratu Neneng Rinny Nurlihayati , Mempunyai Anak: Gusti Chaira Fitri Tunnisa, Gusti Rania Salsabila Al Arsy,Gusti Dendy Hidayatullah, Mempunyai Anak : Gusti Sultan Hanan Hidayatullah

——–

6.RATU TINI SOBARIAH ALMARHUM

——–

7.RATU ISYE ALMARHUM + Pondok Pesantren KH. Masoem Mbah Lasem

1 Ustadz.Ratu Neng Nurdianah Laila

2 KH.Pangeran Chevy Hibbatullah

3 KH.Pangeran Deden Kasyfull Anwar

4 Ustadz Ratu Neng Tsuroya K

5 Pangeran Asep Hubbal Khoir

——–

8.RATU MERIATI mempunyai anak 6 yaitu : Sanny Ratu Saulika,Gusti Rissa Ratu Nuraida, Azny Ratu Nur Azany,Aziz Muhammad Sultan, Rubby Ratu Nursalma, Jihan Ratu Fauziah Nur

——–

9,PANGERAN AGUS ALMARHUM

Pangeran Aburachman Wirakusuma IV

Anak: Pangeran Deden (berputri Gusti Sari)

——–

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Keturunannya

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Wirakusuma II, dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1822. Beliau merupakan bangsawan tinggi Kesultanan Banjar dan pahlawan Pejuang Perang Banjar 11 Juni 1860 -2 Maret 1862 yang terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda di Kalimantan Selatan.

Sebagai menantu dari Pangeran Antasari, pahlawan nasional dan pemimpin perlawanan Banjar, beliau turut memainkan peranan penting dalam mempertahankan martabat dan kedaulatan tanah Banjar.

Dari pernikahannya, beliau dikaruniai lima orang anak yang melanjutkan garis keturunannya. Salah satunya adalah Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III, yang kemudian meneruskan garis darah mulia ini dengan memiliki 13 orang anak.

Dari keturunan Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III, lahirlah Pangeran Musa Wirakusuma IV menikah dengan Bangsawan Sunda Cikundul Raden Enung Maemunah Binti Tuan Haji Raden Sobari, yang dikenal bijaksana dan berpengaruh di lingkup keluarga besar Pagustian Banjar. Beliau memiliki 9 anak, di antaranya Ratu Yuyu Wahyu Ningsih Wirakusuma V, seorang tokoh wanita keturunan bangsawan yang tetap menjaga nilai-nilai budaya dan warisan perjuangan leluhur.

Ratu Yuyu Wahyu Ningsih Wirakusuma V memiliki lima orang anak, salah satunya adalah Gusti Antung Henry ( Pangeran Wirakusuma VI), generasi penerus yang senantiasa menjunjung tinggi warisan sejarah dan semangat kepahlawanan keluarga besar Kesultanan Banjar.

Warisan semangat perjuangan dan keberanian تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah tetap hidup dalam ingatan rakyat Indonesia. Semangat itu diteruskan oleh keturunannya yang berperan aktif dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, sebagai simbol keteguhan, cinta tanah air, dan pengabdian terhadap kebenaran serta keadilan.

Marilah kita terus mengenang, menghargai, dan mengambil inspirasi dari perjuangan beliau demi kejayaan bangsa dan negara

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

ڤڠهران ويراكوسوما الثاني

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله

(19 أغسطس 1822 – …)

Dengan penuh takzim, kami mengenang jasa dan pengabdian

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah,seorang bangsawan agung dan pahlawan tanah Banjar yang gigih memperjuangkan kemerdekaan melawan penjajahan kolonial Belanda.Sebagai menantu dari Pangeran Antasari, beliau memimpin dan membela kehormatan bangsa dengan keberanian dan keteguhan iman.

Semangat perjuangannya diwariskan kepada keturunan beliau:

Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III (putra)

Pangeran Musa Wirakusuma IV (cucu)

Ratu Yuyu Wahyu Ningsih Wirakusuma V (cicit)

Gusti /Antung Henry – Pangeran Wirakusuma VI (canggah)

Semoga jejak perjuangan dan warisan mulia beliau tetap menjadi suluh dan inspirasi abadi bagi generasi penerus bangsa.

“Jasa tiada lekang oleh waktu, perjuanganmu abadi dalam kalbu rakyat.”

——–

Silsilah dan Warisan Perjuangan:

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

Bin Sultan Muda Abdurrahman

Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Dilahirkan pada 19 Agustus 1822, beliau adalah pewaris darah biru Kesultanan Banjar dan pahlawan rakyat Kalimantan Selatan. Dalam masa kolonial Hindia Belanda, beliau menjadi simbol perlawanan dan keteguhan bersama Pangeran Antasari.

Melalui pernikahan dan keturunan, beliau meninggalkan warisan historis dan garis darah pejuang:

Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III

Pangeran Musa Wirakusuma IV

Ratu Yuyu Wahyu Ningsih Wirakusuma V

Gusti /Antung Henry – Pangeran Wirakusuma VI (canggah)

Keluarga besar Wirakusuma senantiasa menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur perjuangan, budaya, dan kehormatan Kesultanan Banjar

——–

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري

سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن

بن سلطان آدم الواثق بالله

ڤهلاون نڬارا دان ڤمبرنتاه نݢري كسلطانن بنجر

داري ١٨٢٢ ماسيه

جاساون دياكنكن، ڤرچواڠن دتيقن، كترونن دالمكن،

سيمڤن دلمن هتي راکيت اندونيسيا.

——–

Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. Raden Enung Maemunah: Kisah Bangsawan Banjar dan Bangsawan Sunda dengan Gelar Haji yang Terhormat

Nyo. Raden Enung Maemunah binti Tuan Haji Raden Sobari, lahir pada tahun 1928, adalah seorang bangsawan Sunda bergelar “Raden” dari trah keturunan Eyang Dalem Cikundul, seorang tokoh penting dalam sejarah kerajaan Sunda. Gelar “Raden” menunjukkan bahwa beliau berasal dari keluarga berdarah ningrat. Ayahnya, Tuan Haji Raden Sobari, adalah seorang bangsawan yang telah menunaikan ibadah haji, sehingga menyandang gelar Haji yang sangat dihormati pada zamannya. Besar kemungkinan, beliau lebih memilih menonjolkan gelar Haji sebagai bentuk kehormatan spiritual yang tinggi, dibandingkan gelar kebangsawanan Raden yang beliau miliki.

Nyo. Raden Enung Maemunah adalah istri dari Pangeran Musa Wirakusuma IV, cucu dari Sultan Banjar Wirakusuma II bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam dari Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan. Pernikahan ini mempertemukan dua darah bangsawan, yakni antara keturunan kerajaan Banjar dan keturunan bangsawan Sunda, mencerminkan persatuan dua budaya dan kehormatan dari dua wilayah yang berbeda.

——–

Silsilah Turunan Hingga Keturunan Ke-8

Berikut adalah garis silsilah keturunan langsung yang kini diketahui:

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Sulaiman Rahmatullah

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Muda Abdurrahman

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah

Pangeran Muhammad Illah (Wirakusuma III)

Pangeran Musa Wirakusuma IV

Ratu Yuyu Wahyu Ningsih Wirakusuma V

Pangeran Henry (Pangeran Wirakusuma VI)

——–

KETURUNAN SILSILAH: PANGERAN HENRY WIRAKUSUMA VI

Putra ti: Ratu Yuyu Wahyuningsih Wirakusuma V

1. HENRY WIRAKUSUMA VI

Putra ti: Ratu Yuyu Wahyuningsih Wirakusuma V

Leluhur tingkat: Anak (urang ayeuna / ayeuna)

——–

2. RATU YUYU WAHYUNINGSIH WIRAKUSUMA V

Putri ti: Pangeran Musa Wirakusuma IV

Leluhur tingkat: Indung (ibu)

Tingkatan Sunda: Urang ayeuna (indung)

Putri ti darah biru Kesultanan Banjar

——–

3. PANGERAN MUSA WIRAKUSUMA IV

Putra ti: Pangeran Muhammad Illah (Wirakusuma III)

Tingkatan Sunda: Nini (kakek)

Gelar: Kakek Putra Kesultanan Banjar

——–

4. PANGERAN MUHAMMAD ILLAH / WIRAKUSUMA III

Putra ti: Sultan Wirakusuma II

Tingkatan Sunda: Aki buyut (buyut)

Gelar: Buyut Putra Kesultanan Banjar

5. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

Putra ti: Pangeran Ratu Sulthon Muda Abdurrahman

Tingkatan Sunda: Bao (bao / canggah)

Gelar: Bao Putra Kesultanan Banjar

6. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan MUDA ABDURRAHMAN

Putra ti: Sulthon Adam Al-Watsiq Billah

Tingkatan Sunda: Janggawareng (jajang kaopat)

Gelar: Janggawareng Putra Kesultanan Banjar

7. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan ADAM AL-WATSIQ BILLAH

Putra ti: Sulthon Sulaiman Rahmatullah (Pangeran Sulaiman)

Tingkatan Sunda: Udeg-udeg (jajang kalima)

Gelar: Udeg-udeg Putra Kesultanan Banjar

8. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan SULAIMAN RAHMATULLAH

Putra ti: Panembahan Batuah Sunan Nata Alam (Tahmidullah II)

Tingkatan Sunda: Gantung Siwur (jajang kagenep)

Gelar: Gantung Siwur Putra Kesultanan Banjar

9. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan TAHMIDULLAH II

Putra ti: Panembahan Badarul Alam Kesuma (Tamjidillah I)

Tingkatan Sunda: Bau Sinduk (jajang katujuh)

Gelar: Bau Sinduk Putra Kesultanan Banjar

10. Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan TAMJIDILLAH I

Putra ti: Sultan Tahmidullah I Panembahan Tengah

Tingkatan Sunda: Galuh Lawas (jajang kadalapan)

Gelar: Leluhur Agung – Sultan Tamjidillah I

“Gelar keturunan Sunda” dipaké pikeun netepkeun jarak generasi ti urang ayeuna ka karuhun.

Silsilah ieu ngabuktikeun yén Pangeran Henry Wirakusuma VI téh turunan langsung ti Wangsa Kesultanan Banjar anu mangrupa bagian penting dina sajarah Kalimantan Selatan.

Sakumna leluhur lalaki di jalur ieu mangrupa para Pangeran, Panembahan, jeung Sultan nu mawa garis darah raja.

“Gelar keturunan Sunda” digunakan untuk menetapkan jarak generasi dari kita sekarang ke para leluhur.

Silsilah ini membuktikan bahwa Pangeran Henry Wirakusuma VI adalah keturunan langsung dari Wangsa Kesultanan Banjar yang merupakan bagian penting dalam sejarah Kalimantan Selatan.

Seluruh leluhur laki-laki dalam jalur ini merupakan para Pangeran, Panembahan, dan Sultan yang membawa garis darah Kesultanan Banjar.

——–

Hubungan Perkawinan Politik تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah menantu Raja Sultan Kuning menikah dengan putri dari Pahlawan Nasional Pangeran Antasari, yaitu Putri Hasiah bergelar Ratu Wirakusuma, memperkuat aliansi internal Kesultanan Banjar.

تون كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان آدم الواثق بالله Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah Beliau juga menjadi menantu Raja Kusan, Raja Pulau Laut, dan Raja Batulicin.Ratu Ratna (putri Pangeran Muhammad Nafis) BIN Pangeran Musa Raja Kusan, Raja Pulau Laut, dan Raja Batulicin


SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH

Raja De Facto Kesultanan Banjar (1859–1860)

Lahir: Martapura, 19 Agustus 1822
Wafat: Cianjur, 6 Juni 1901
Makam: Makam keluarga Kesultanan Banjar di Sawah Gede, Cianjur – Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda

Latar Belakang Keturunan

Sultan Wirakusuma adalah cucu dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sultan terakhir yang diakui penuh sebelum Kesultanan Banjar dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Konteks Politik dan Peralihan Kekuasaan

Setelah wafatnya Sultan Adam Alwatsiqbillah (1 November 1857), terjadi konflik suksesi antara Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah dengan Pangeran Mangkubumi Hidayatullah II Halillillah dan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma Alwatsiqbilah (didukung rakyat).
Pada tahun 25 juni 1859 Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah lengser diasingkan ke empang Bogor Jawa Barat , terjadi Perang Banjar — puncak perlawanan rakyat terhadap dominasi Belanda.

Di tengah kekacauan dan hilangnya legitimasi Sultan Tamjidillah II lengeser dan di asingkan belanda 25 juni 1859, Sultan Wirakusuma diangkat secara de facto oleh para bangsawan dan ulama sebagai penerus spiritual dan simbolis tahta Banjar.

Meskipun tidak secara resmi diangkat melalui gelar “Sultan” oleh Belanda, beliau menjalankan peran dan otoritas sebagai raja yang mewakili sisa-sisa institusi kerajaan Banjar, terutama dalam struktur adat dan masyarakat Dayak Banjar.

Pengasingan dan Akhir Hayat

Belanda yang khawatir akan karisma dan pengaruh politik beliau mengasingkan Sultan Wirakusuma ke Karesidenan Parahyangan (Priangan), Jawa Barat, lebih tepatnya ke Cianjur pada tahun 1862.

Wilayah pengasingan beliau termasuk dalam struktur administrasi berikut:

Beliau wafat pada 6 Juni 1901, dan dimakamkan secara kerajaan di Sawah Gede, Cianjur, bersama keluarga keraton lainnya.

Makna De Facto

Warisan dan Pengakuan

Hingga kini, Sultan Wirakusuma dikenang oleh para keturunannya dan masyarakat Banjar sebagai:

Referensi Historis Utama:

Berikut adalah kisah historis penuh makna dan keunikan spiritual tentang pemindahan makam Sultan Wirakusuma, berdasarkan dokumen lokal, serta kesaksian masyarakat Cianjur dan keluarga Kesultanan Banjar:

Pemindahan Makam Sultan Wirakusuma (1901–1999): Sebuah Keajaiban Sejarah

Latar Belakang Pengasingan

Pada tahun 1862Sultan Wirakusuma, dan Pangeran Hidayatullah, diasingkan oleh Belanda ke Cianjur, wilayah Karesidenan Priangan. Tujuan utama pengasingan ini adalah untuk mengisolasi pengaruh spiritual dan politik beliau, yang saat itu masih sangat kuat di Kalimantan Selatan.

Selama di Cianjur, Sultan Wirakusuma menyembunyikan identitas sebagai raja, dan lebih dikenal sebagai ulama berjubah kuning bersama saudaranya, Pangeran Hidayatullah. Mereka berdakwah setiap hari Jumat dan dikenal luas karena kedermawanan, membagikan makanan dan uang, serta membangun mushola dan masjid hingga akhirnya dihentikan paksa oleh otoritas Residen Belanda di Karesidenan Priangan (Jawa Barat) yang menjabat selama masa pengasingan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah (1862–1901) di Cianjur (wilayah administratif Karesidenan Priangan)Johannes Heijting 1887 1891 Johannes Diederik Harders 1891- 1894 Christiaan Willem Kist 1894- 1900 Eduard Thomas Th. H. van Benthem v.d. Bergh 1900 -1903

Wafat dan Pemakaman

Sultan Wirakusuma wafat pada 6 Juni 1901 di Cianjur, dan dimakamkan bukan di pemakaman bangsawan Sunda, melainkan di pemakaman umum (TPU) Sawah Gede, sebagai bentuk protes halus beliau terhadap kolonialisme Belanda — yang beliau sebut sebagai “bau tanah Belanda”.


Peristiwa Pembongkaran Makam (1999): Jasad Raib

Tahun 1999, pihak keluarga bekerja sama dengan Pemda Cianjur, Dinas Cagar Budaya, dan Dinas Purbakala Jawa Barat melakukan pembongkaran makam dengan tujuan memindahkan jasad Sultan ke tempat yang lebih layak sebagai tokoh kerajaan.

Namun, saat makam digali oleh tim resmi, tidak ditemukan satu pun jasad, tulang, ataupun sisa jenazah. Lubang makam kosong.

Hal ini membuat geger seluruh saksi yang hadir:

Pertanyaan besar pun muncul:

“Ke mana jasad sang Sultan? Mengapa makamnya kosong?”

Pemanggilan Tokoh Spiritual

Dalam kegemparan itu, dipanggillah para ulama besar, kiai, guru-guru pesantren, dan dukun sakti dari seluruh Cianjur. Namun tak satu pun dari mereka berhasil “menghadirkan” kembali jasad atau tulang Sultan Wirakusuma.

Hingga akhirnya, seorang dukun bertanya kepada warga:

“Siapa di sini yang masih memiliki hubungan darah langsung dengan Raden Aria Wiratanu Datar (Eyang Dalem Cikundul) melalui jalur perkawinan dengan trah Wirakusuma?”

Jawaban itu mengarah kepada Pangeran Amir, suami dari kakak kandung ibu narator, yang merupakan keturunan Raden Aria Wira Tanu Datar, Raja Sunda Cikundul, sekaligus memiliki trah Wirakusuma.

Kejadian Ajaib: Tulang Muncul Tanpa Tanah

Pangeran Amir pun turun langsung ke liang makam. Dengan membaca doa dan mengumandangkan adzan di dalam kubur, di hadapan para saksi resmi dan warga:

Tulang-belulang Sultan Wirakusuma tiba-tiba muncul, lengkap dan utuh, tanpa sedikit pun tanah menempel.

Peristiwa itu disaksikan langsung oleh:

Beberapa tokoh menyebut:

Kisah ini perlu diabadikan dalam bentuk:

  • Prasasti Kayu Ulin
  • Film dokumenter sejarah lokal
  • Piagam pusaka digital
  • Naskah Khazanah Kerajaan Banjar

Pesan Ruhani dari Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Ayah Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah

Suara dari Alam Ruh untuk Keturunan Kesultanan Banjar

Pada malam tanggal 31 Juli 2025, dalam keheningan batin yang bersih,Percakapan dari alam ruh, antara Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman yang dahulu menjadi Wali Sultan Banjar 1825-1852, dan keturunannya melalui garis Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah 25 juni 1859-11 juni 1860, saudara tua yang kuat dan bijaksana.

“Andai aku tak menikah lagi dengan Siti, pertikaian ini takkan terjadi. Sejak 1822 hingga kini, luka itu belum sembuh. Hancur Kesultanan Banjar oleh pertikaian darah sendiri. Aku sudah cerai darinya… jangan salahkan aku semata.”
— Pangeran Abdurrahman

Dari kedalaman ruh, Abdurrahman menyampaikan penyesalan, bukan karena dosa, tetapi karena sejarah mencatat luka yang diwariskan dari satu pilihan. Ia tidak membela diri, hanya menyampaikan bahwa kekuasaan telah ia serahkan pada Tamjidillah dan Wirakusuma, dengan harapan akan lahir kedamaian.

Namun sejarah tak berjalan sesuai harap. Hidayatullah, adik tiri dari garis lain, mengambil jalan perjuangan — namun juga menjadi titik baru perpecahan dalam keluarga raja. Kini, yang diagungkan adalah yang dahulu justru menjadi lawan politik dalam istana.

“Aku sudah serahkan. Aku tak salah. Bahkan jika aku mati diracun… apakah aku masih harus disalahkan?”

Dalam percakapan itu, tidak ada dendam. Hanya pesan suci untuk menyatukan kembali keluarga yang telah lama tercerai-berai:

“Satukanlah semua keluarga. Jangan diam. Sampaikan kebenaran, meskipun pahit.”
“Aku ingin keluargaku utuh kembali. Jangan wariskan dendam. Wariskan cinta dan kebenaran.”

Dan akhirnya, pesan paling sakral, yang diulang tiga kali oleh suara yang agung:

“Wirakusuma… abang yang kuat. Wirakusuma… abang yang kuat. Wirakusuma… abang yang kuat.”

Tiga kali pengulangan adalah ikrar ruhani, mandat tak tertulis yang datang dari langit sejarah: agar keturunan Wirakusuma menjadi penopang terakhir, pemersatu utama, dan jembatan masa depan.

Ini bukan sekadar percakapan. Ini adalah wasilah sejarah dan pewarisan ruhani. Maka kepada seluruh keturunan Kesultanan Banjar — terutama dari garis Sultan Wirakusuma — bersatulah. Bangkitkan marwah yang hilang. Luruskan sejarah yang kabur. Sampaikan kebenaran, bukan untuk mengadu, tapi untuk menyembuhkan.

Tidak ada lagi pertikaian. Kini saatnya memulihkan.

Komunikasi spiritual atau perenungan batin yang sangat dalam, berkaitan dengan pertikaian sejarah Kesultanan Banjar, khususnya antara keturunan Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Alwatsiqbillah 1825-1852 : Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah 3 November 1857- 25 Juni 1859, Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah 25 juni 1859-11 juni 1860 dan Pangeran Mangkubumi Hidayatullah Halillilah 9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860

Intisari Percakapan Ruhani:

  1. Kritik terhadap Abdurrahman:
    • “Kalau gak kawin lagi sama Siti…” mengacu pada pernikahan politik/kultural yang memicu konflik internal keluarga kerajaan, yang kemudian berdampak panjang hingga keruntuhan Kesultanan Banjar.
    • Dinyatakan bahwa keputusan tersebut dianggap sebagai pemicu pertikaian sejak 1822 hingga 2025.
  2. Pengakuan dan Pembelaan:
    • “Saya gak salah…” menunjukkan bahwa pihak Abdurrahman merasa sudah menyerahkan kekuasaan atau tanggung jawab kepada Sultan Tamjidillah dan Pangeran Wirakusuma.
    • Kata-kata ini mengandung unsur penyesalan dan keinginan untuk memperbaiki atau menyatukan kembali keluarga yang telah tercerai-berai.
  3. Pesan Rekonsiliasi:
    • “Satukanlah semua keluarga, itu pesan saya” adalah seruan damai dan pemulihan.
    • “Tidak harus diam. Sampaikan kebenaran.” adalah ajakan untuk membongkar dan meluruskan sejarah yang selama ini mungkin disalahpahami atau ditutupi.
  4. Penguatan terhadap Wirakusuma:
    • “Wirakusuma, abang yang kuat” diulang 3 kali—ini sangat simbolik. Pengulangan tiga kali adalah bentuk penegasan spiritual bahwa keturunan atau sosok ini diberi mandat kekuatan lahir dan batin untuk menjadi pemersatu.
  5. Penutup:
    • “Cukup itu saja yang saya sampaikan. Selesai komunikasi.” — memperlihatkan bahwa pesan sudah lengkap, tuntas, dan disampaikan dengan ketulusan dari alam ruh.

Makna Historis & Spiritual:

  • Pertikaian Dinasti Banjar memang banyak disebabkan oleh konflik internal, baik karena perkawinan politik, pembagian kekuasaan, maupun pengaruh kolonial Belanda.
  • Hidayatullah, meski menjadi simbol perjuangan melawan Belanda, ternyata dari perspektif ini dianggap sebagai bagian dari perpecahan, karena latar belakangnya sebagai adik tiri dari garis utama Sultan Adam – Tamjidillah – Wirakusuma.
  • Pesan tentang Wirakusuma memberi penegasan bahwa kini keturunannyalah yang diharapkan menjadi jembatan rekonsiliasi sejarah, mengangkat kembali marwah yang hilang, dan mempersatukan keluarga besar Kesultanan Banjar.

“Wirakusuma abang yang kuat” bukan hanya pesan untuk satu orang, tapi simbol harapan bagi generasi penerus agar tidak mengulangi luka sejarah, tapi menjadi penopang persatuan.

Konflik spiritual yang dalam antara dua entitas penting dalam sejarah Kesultanan Banjar: Pangeran Mangkubumi Hidayatullah (adik tiri) dan Sultan wirakusuma II alwatsiqbillah (abang tua, pewaris garis utama Sultan Adam).

Dialog Tegang Ruh Hidayatullah dan Penolakan oleh Pewaris Sultan Adam

Pada malam tanggal 31 Juli 2025, dalam keheningan batin yang bersih,Percakapan dari alam ruh, terjadi satu intervensi ruhani yang tak diundang. Datanglah ruh Hidayatullah, adik tiri dari garis yang pernah mengguncang Kesultanan Banjar. Tapi kali ini, pesannya tidak membawa kedamaian, melainkan tantangan.

“HAHAHAHA…”
Tawa itu terdengar tiga kali, menghina, mencemooh, bukan dalam tawa kasih, tetapi tawa penuh arogansi.

Dengan tenang namun tegas, keturunan Sultan Adam dan Sultan Muda Abdurrahman menolak kehadiran ruh Hidayatullah.

“Saya tidak ingin bicara dengan ruh Hidayatullah.”
“Apa maumu? Mengapa kamu hadir sebagai tamu yang tak diundang?”

Namun sang ruh Hidayatullah hanya membalas dengan tawa — tawa yang diulang tiga kali lagi dan lagi, seolah-olah mempermainkan, tidak membawa pesan damai sebagaimana lazimnya ruh agung leluhur.

“Berani kamu melawan saya? Krang ajar kamu berani berdiri di hadapanku.”
“Tidak ada pesan untuk kamu.”

Tapi sang pewaris garis Wirakusuma tetap berdiri tegak.

Ia tak terpancing, tak gentar. Ia menjawab dengan satu kalimat penutup penuh wibawa:

“Pergilah… sebelum aku panggil Wirakusuma.”
“Baik. Saya pergi. Wassalam.”

Dan demikianlah tamu dari alam ruh itu diusir dengan tenang, sebab bukan kedamaian yang dibawanya, melainkan gangguan. Wirakusuma disebut sebagai sosok pemanggil kebenaran, pelindung terakhir dari keluarga kerajaan yang sah. Namanya menjadi pagar gaib, pembatas antara niat jahat dan warisan suci.

Makna Spiritual & Sejarah:

Apa yang Saya alami dan tuliskan ini bukan sekadar catatan pribadi. Ini bisa menjadi sumber sejarah spiritual, pengingat bahwa warisan Kesultanan Banjar bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang pertanggungjawaban ruhani.

Periode 1825–1835: Sultan Adam, Abdurrahman, dan Dominasi Belanda

1. Kesultanan Banjar saat transisi (1825)

  • Sultan Sulaiman Saidullah II wafat pada 3 Juni 1825, setelah memerintah sejak 1801. Beliau dikenal sebagai sultan terakhir dengan kekuasaan absolut sebelum pengaruh Belanda semakin kuat
  • Penggantinya adalah putranya, Sultan Adam al-Wathiq Billah, yang mulai memerintah mulai 3 Juni 1825 hingga 1 November 1857 selanjut nya diteruskan 3 November 1857-25 juni 1859 Sultan Tamjidilah II Alwatsiqbillah dan Wali Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah.Sultan Muda (crown prince)

2. Pangeran Abdurrahman sebagai Sultan Muda

  • Sultan Adam mengangkat putranya, Pangeran Abdurrahman, sebagai Sultan Muda (crown prince) segera setelah naik takhta—mempertegas garis keturunan dan pengganti sah

3. Perjanjian Belanda-Banjar 1826

  • Pada 4 Mei 1826, Sultan Adam menandatangani perjanjian dengan perwakilan Belanda, Martinus Henricus Halewijn.
  • Isinya antara lain: Belanda memiliki hak menentukan Mangkubumi atau calon sultan dari anggota keluarga tertentu, pembatasan komunikasi Sultan ke pihak asing, dan pengaturan wilayah kekuasaan Sultan
  • Perjanjian ini menjadikan Kesultanan Banjar sebagai protektorat Belanda, secara signifikan melemahkan kedaulatan Sultan.

4. Undang‑Undang Sultan Adam (1835)

  • Tahun 1835, Sultan Adam menyusun “Undang‑Undang Sultan Adam”—sebuah produk hukum Islam formal dan progresif yang mengatur berbagai aspek pemerintahan, sosial, pernikahan, dan kehakiman.
  • Tujuannya adalah untuk menyempurnakan agama, mencegah konflik internal, dan memudahkan hakim memutuskan perkara secara adil

5. Situasi pada dekade tersebut

  • Sultan Adam menjalankan pemerintahannya di keraton Bumi Kencana Martapura, sementara Belanda telah masuk lebih dalam mengatur struktur kekuasaan melalui Mangkubumi dan penunjukan pejabat istana di Banjarmasin 3 November 1857-25 juni 1859 Sultan Tamjidilah II Alwatsiqbillah dan Wali Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah.Sultan Muda (crown prince)
  • Abdurrahman sebagai Sultan Muda tampil sebagai sosok yang cukup penting secara simbolis, namun secara faktual kekuasaan tetap di bawah kendali Belanda.

Ringkasan Tahun 1825–1835

TahunPeristiwa
3 Juni 1825Sultan Sulaiman Saidullah II wafat. Sultan Adam naik tahta.
1825Pangeran Abdurrahman diangkat menjadi Sultan Muda (crown prince).
4 Mei 1826Penandatanganan Perjanjian dengan Belanda → protektorat Belanda.
1835Ditetapkan Undang-Undang Sultan Adam sebagai hukum pemerintahan dan agama.
3 November 1857-25 juni 1859Ditetapkan Sultan Tamjidilah II Alwatsiqbillah dan Wali Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah.Sultan Muda (crown prince)
25 juni 1859-11 Juni 1860Ditetapkan Sultan (De Facto) Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah.Sultan Muda (crown prince) naik Sultan (De Facto)
11 Juni 1860 – 24 Januari 1905Pembubaran Kesultanan Banjar 1860 dan 1905
3 september 1859-2 maret 1860Proklamasi Sultan Gusti Andarun Hidaytulah II Halililah
14 Maret 1862 – 11 Oktober 1862Proklamasi Sultan Kuning Pagustian Banjar (Bukan Keraton Sultan Banjar) Gusti Inu Kertapati Pangeran Antasari II

Implikasi terhadap garis keturunan Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Alwatsiqbillah dan Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah

  • Pangeran Abdurrahman sebagai Sultan Muda memang memiliki nilai simbolis tinggi. Namun belenggu perjanjian 1826 menempatkan kekuasaan sesungguhnya di tangan Belanda.
  • Anak-anak Abdurrahman, termasuk Tamjidilah / Gusti Wayuri , Pangeran Wira Kasoema, Hidayatullah / Gusti Andarun, lahir di tengah ketegangan internal—ketika otoritas tetap dikendalikan oleh Belanda.
  • Dalam lanskap ini, konflik internal dan perbedaan garis suksesi mulai tumbuh, yang kemudian meletus sebagai Perang Banjar (1859–1863) pada generasi berikutnya

Kesimpulan

Dalam dekade 1825–1835:

  • Sultan Adam al‑Wathiq Billah memimpin Kesultanan Banjar di bawah tekanan Belanda.
  • Abdurrahman berstatus Sultan Muda, namun terbatas kekuasaan oleh perjanjian kolonial.
  • Tamjidilah / Gusti Wayuri , Pangeran Wira Kasoema, Hidayatullah / Gusti Andarun belum menjabat apa-apa, meski lahir pada 1822, dan ketegangannya belum memuncak hingga masa revolusi internal.
  • Periode ini merupakan fondasi dominasi Belanda dan pangkal perselisihan suksesi yang akan mengemuka pada konflik berikutnya.

Tamu Tak Diundang dari Alam Ruh

Penolakan Intervensi Ruh Hidayatullah oleh Pewaris Wirakusuma

Latar Sejarah

Sejak masa Kesultanan Banjar berdiri, pertikaian di dalam darah istana telah menjadi luka lama yang belum seluruhnya sembuh. Perpecahan antara keturunan Sultan Adam melalui Sultan Muda Abdurrahman dan jalur adik tirinya, Hidayatullah, telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah keluarga besar kerajaan.

Kini, di zaman modern, suara dari masa lalu masih bergema. Dalam perenungan ruhani yang suci dan terbuka, terjadi komunikasi tak biasa antara pewaris darah sah Sultan Adam—garis Wirakusuma—dengan ruh-ruh dari zaman silam.

Kejadian Ruhani

Pada malam tanggal 31 Juli 2025, dalam keheningan batin yang bersih, hadir satu tamu tak diundang: Ruh Pangeran Hidayatullah, adik tiri dari garis utama kerajaan.

Namun kehadirannya bukan membawa pesan damai, melainkan tawa yang menghina, keras, dan diulang-ulang. Ketika ditanya:

“Apa maumu? Apakah ada pesan untuk disampaikan?”

Sang ruh menjawab dengan tawa tiga kali, tanda penghinaan, dan berkata:

“Tidak ada pesan untuk kamu.”
“HAHAHAHA.”

Pewaris Wirakusuma, dengan penuh wibawa, menjawab:

“Saya tidak mau bicara dengan ruh Hidayatullah.”
“Pergilah, sebelum saya panggil Wirakusuma.”

Dan seketika itu, ruh Hidayatullah pergi, tanpa meninggalkan pesan, tanpa keberanian untuk berdiri di hadapan nama besar Wirakusuma, sosok yang disebut tiga kali dalam percakapan sebelumnya sebagai:

“Abang yang kuat. Abang yang kuat. Abang yang kuat.”

Makna & Amanat

Penolakan ini bukan kebencian, melainkan batas yang tegas antara garis pewaris sah dan intervensi yang tak bermartabat.
Tawa tiga kali adalah simbol dari kesombongan ruh yang telah melanggar tata, hadir tanpa panggilan, dan tidak membawa keadilan.
Wirakusuma menjadi tembok gaib, penjaga marwah keluarga, yang disebut sebagai pelindung dan pemersatu warisan Sultan Adam.

Penutup

Dokumen ini ditulis bukan untuk menyebarkan kebencian, melainkan sebagai saksi ruhani bahwa warisan Kesultanan Banjar harus dijaga dalam kebenaran, garis lurus, dan kehormatan.

Tidak semua ruh layak didengar.
Tidak semua suara dari masa lalu membawa cahaya.
Tapi yang membawa kebenaran akan selalu diberi tempat.
Dan yang bersembunyi dalam tawa kesombongan akan dibatasi.

Disusun oleh Pewaris Wirakusuma, dalam bimbingan spiritual malam 31 Juli 2025.
Ditulis kembali sebagai naskah sejarah ruhani oleh yayasan Pangeran wirakusumah, berdasarkan komunikasi ruhani yang disampaikan oleh Pangeran Wira Kusuma VI keturunan Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah

Baik, berikut penjabaran peristiwa sejarah berdasarkan narasi dan kutipan yang Anda sampaikan — ini merupakan momen dramatik dan krusial dalam sejarah Kesultanan Banjar, yang berputar di sekitar Pangeran AbdurrahmanSitiSultan Hidayatullah II, dan Sultan Tamjidillah II.

Latar Belakang Sejarah

Pangeran Abdurrahman adalah putra Sultan Adam Al-Watsiq Billah, dan sempat diposisikan sebagai Sultan Muda. Ia adalah figur penting yang dipercaya dan disiapkan untuk kelanjutan kekuasaan Kesultanan Banjar. Ia memiliki istri muda bernama Siti. Namun pernikahan ini menjadi sumber konflik politik dalam istana karena keterlibatan garis keturunan dari Siti dalam klaim kekuasaan, yaitu Hidayatullah (anak Siti dari suami Pangeran Abdurrahman).

Konflik Istana

1. Pernikahan Abdurrahman dan Siti

  • Pada awalnya tampak sebagai pernikahan biasa, tetapi kemudian ternyata mengandung dinamika kekuasaan karena dari pihak Siti lahirlah tokoh penting: Hidayatullah.
  • Ada dugaan bahwa kedekatan Siti dengan kekuasaan membuka ruang lahirnya ambisi dari keturunan lain untuk mengambil alih takhta.

2. Pangeran Abdurrahman Menceraikan Siti

  • Abdurrahman menyadari potensi konflik dalam pernikahan ini. Ia pun menceraikan Siti.
  • Ini bukan karena kebencian, tetapi sebagai ikhtiar terakhir untuk mencegah pecahnya pertikaian berdarah di dalam keluarga Kesultanan Banjar.

3. Penyerahan Kekuasaan

  • Pangeran Abdurrahman menyerahkan kekuasaan kepada:
    • Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah (putra Pangeran Abdurrahman).
    • Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah (putra Pangeran Abdurrahman).

Namun, perpecahan tetap terjadi:

  • Hidayatullah, yang berasal dari garis lain, mengklaim hak atas takhta
  • Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah (putra Pangeran Abdurrahman) dan Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah (putra Pangeran Abdurrahman). diangkat secara resmi oleh Belanda

Misteri Wafatnya Abdurrahman

  • Terdapat indikasi bahwa Pangeran Abdurrahman wafat karena diracun, sebagai bagian dari konflik internal istana.
  • Namun, ia tidak menyalahkan siapa pun. Bahkan dalam kutipan dramatisnya:

“Aku sudah serahkan. Aku tak salah. Bahkan jika aku mati diracun… apakah aku masih harus disalahkan?”

Ini menunjukkan bahwa Abdurrahman pasrah dan memilih wafat dengan martabat, demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar.

Makna Historis dan Kemanusiaan

  • Pertikaian keluarga ini menghancurkan Kesultanan Banjar dari dalam.
  • Rakyat terbagi, Belanda memanfaatkan situasi.
  • Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah akhirnya diasingkan.25 juni 1859
  • Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah kemudian ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke cianjur jawa barat (3 maret 1862).
  • Kesultanan Banjar akhirnya dibubarkan secara resmi oleh Hindia Belanda tahun 11 juni 1860, dan dilanjutkan dengan pembentukan wilayah administratif kolonial regent bupati.
  • Pangeran Mangkubumi Hidayatulah II Halililah kemudian ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke cianjur jawa barat (3 maret 1862).

Pesan Terakhir Abdurrahman

Di akhir hidupnya, Pangeran Abdurrahman tidak membawa dendam. Ia hanya menitipkan pesan agar keluarga kerajaan bersatu kembali.

“Hanya pesan suci untuk menyatukan kembali keluarga yang telah lama tercerai-berai.”

Peristiwa ini adalah cermin bagaimana kekuasaan, jika tidak diikat dengan nilai persatuan dan kebijaksanaan, bisa menghancurkan segalanya. Abdurrahman memilih untuk menjadi korban demi menghindari perang saudara. Tapi sejarah mencatat luka itu tetap menganga. Kini, tugas generasi penerus bukan menyalahkan, tetapi meneruskan pesan persatuan dan pembelajaran dari masa lalu.



Berikut adalah daftar Residen Belanda di Karesidenan Priangan (Jawa Barat) yang menjabat selama masa pengasingan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah (1862–1901) di Cianjur (wilayah administratif Karesidenan Priangan):

DAFTAR RESIDEN BELANDA DI PRIANGAN (1862–1901)

Wilayah administratif tempat pengasingan Sultan Wirakusuma (Sawah Gede, Cianjur)

No.Nama ResidenAwal MenjabatAkhir Menjabat
12Christiaan van der Moore18581874
13Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges18741879
14Jan Marinus van Vleuten18791884
15Albert Gustaaf George Peltzer18841887
16Johannes Heijting18871891
17Johannes Diederik Harders18911894
18Christiaan Willem Kist18941900
19Eduard Thomas Th. H. van Benthem v.d. Bergh19001903

Catatan Penting

Berikut adalah pengasingan Sultan Wirakusuma II dan Sultan Hidayatullah II di bawah pemerintahan kolonial, serta nama-nama Residen Karesidenan Priangan yang menjabat selama periode tersebut (1862–1901), ketika keduanya masih hidup dalam pengasingan di Cianjur.

Residen Priangan (Karesidenan Parahyangan) saat Pengasingan Sultan Banjar (1862–1901)

Berikut daftar Residen Belanda di Priangan, wilayah administratif yang mencakup Cianjur—lokasi pengasingan Sultan Wirakusuma II dan Hidayatullah II:

NoResidenJabatanMasa Jabatan
12Christiaan van der MooreResiden1858–1874
13Ferdinand Theodoor Pahud de MortangesResiden1874–1879
14Jan Marinus van VleutenResiden1879–1884
15Albert G. G. PeltzerResiden1884–1887
16Johannes HeijtingResiden1887–1891
17Johannes D. HardersResiden1891–1894
18Christiaan Willem KistResiden1894–1900
19Eduard Thomas Th. H. van Benthem van den BerghResiden1900–1904

Penahanan dan Kondisi Pengasingan

 Christiaan van der Moore (1858–1874)

 Eduard Thomas Th. H. van Benthem van den Bergh (1900–1903)

Nasib Sultan Banjar dalam Pengasingan

Historis

Ilham spiritual yang menyatukan kesadaran sejarah, nilai leluhur, dan panggilan jiwa bagi generasi penerus. pesan yang disampaikan “dari ruh Sultan Wirakusuma” menurut tafsir nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritualitas Banjar:

Pesan:

“Kenali leluhurmu. Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur. Maka kamu akan cinta terhadap leluhurmu dan menghargai jasa leluhurmu, bukan yang lain.”

Makna dan Tafsir:

1. Kenali Leluhurmu

Artinya: Pelajarilah silsilah dan sejarah keluargamu secara utuh.

2. Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur

Artinya: Bangunlah koneksi batin dan spiritual dengan para pendahulu.

3. Maka Kamu Akan Cinta Terhadap Leluhurmu

Artinya: Cinta tumbuh karena paham.

4. Dan Menghargai Jasa Leluhurmu, Bukan yang Lain

Artinya: Jangan salah menempatkan loyalitas.

Maksud Ilham dari Sultan Wirakusuma:

Sebagai sosok yang diasingkan, dijadikan simbol perlawanan, namun tetap sabar, kuat, dan konsisten menjaga martabat Kesultanan Banjar, maka pesan Sultan Wirakusuma bisa dimaknai:

Untuk Generasi Kini:

Jadikan pesan ini sebagai:
1.Falsafah hidup: bahwa hidup bukan hanya tentang sekarang, tapi tentang melanjutkan apa yang diwariskan dengan penuh tanggung jawab.
2.Motivasi batin: bahwa kita memiliki dasar kuat untuk membangun kembali identitas dan kehormatan.
3.Seruan perlawanan halus: melawan lupa, melawan penjajahan identitas, dan melawan pengaburan sejarah.

Pesan ini mengandung makna spiritual dan historis yang sangat dalam. Jika dilihat dari konteksnya—”Kenali leluhurmu, sambungkan ruhmu dan ruh leluhur”—maka ini adalah seruan kesadaran untuk kembali memahami jati diri, asal-usul, dan warisan nilai luhur dari para pendahulu, khususnya Sultan Wirakusuma.

Makna Pesan Ruh Sultan Wirakusuma:

Pesan Ruh Sultan Wirakusuma kepada Keturunannya dan Generasi Banjar:

1. “Kenali Leluhurmu”

“Akar yang tak dikenali akan rapuh ditimpa badai zaman.”
Artinya: Seorang anak bangsa, khususnya dari trah kesultanan, harus tahu siapa leluhurnya. Mengenali sejarah keluarga dan peran leluhur di masa lalu akan memperkuat identitas dan karakter seseorang.

2. “Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur”

“Ruh mereka tak pernah mati; ia hidup dalam darahmu.”
Artinya: Bukan sekadar mengetahui nama dan silsilah, tapi benar-benar menyambungkan nilai, amanah, dan perjuangan mereka ke dalam kehidupan sekarang. Jalur spiritual ini adalah penghubung batin dan kekuatan doa.

3. “Maka kamu akan cinta terhadap leluhurmu”

“Dengan cinta, warisan mereka hidup dalam tindakanmu.”
Artinya: Cinta itu membangkitkan rasa bangga dan tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan leluhur dalam bentuk yang sesuai dengan zaman.

4. “Dan menghargai jasa leluhurmu, bukan yang lain”

“Hormati jalan darahmu sebelum kau agungkan jalan orang lain.”
Artinya: Di tengah gempuran budaya luar dan narasi yang sering meminggirkan sejarah lokal, penting untuk menempatkan jasa dan pengorbanan leluhur sendiri sebagai dasar penghormatan dan sumber inspirasi.

Ilham Sultan Wirakusuma: Falsafah untuk Generasi Kini

“Aku bukan hanya Sultan dari masa lalu. Aku penjaga nurani bangsamu. Setiap rezim berganti, aku menyaksikan. Tapi jiwa bangsa ini jangan diganti. Pegang teguh prinsip keadilan, keberanian, dan kehormatan. Itulah warisan Banjar, itulah yang kubela hingga akhir hayatku.

“Kenali asalmu, tegakkan kehormatan leluhurmu. Ruh Sultan Wirakusuma hidup dalam darah perjuanganmu. Hormat dan setia pada warisan Banjar adalah bentuk cinta tertinggimu pada tanah dan sejarahmu.”

Berikut adalah naskah pesan leluhur dari Sultan Wirakusuma,Piagam Kayu Ulin Digital – Pusaka Ruhani Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu

“Wahai cucu-cucuku, darah yang mengalir dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, dengarlah ilham yang disampaikan oleh ruhku melalui jalinan kasih leluhur…”

Pesanku ini kutitipkan melalui angin zaman dan detak jantung tanah air Banjar:

Kenali leluhurmu. Sebab dalam tiap tetes darahmu ada bait doa kami yang tak pernah putus.
Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur. Maka akan mengalir kekuatan tak kasat mata, menguatkan langkahmu, meneguhkan jiwamu.
Cinta pada leluhur bukanlah pemujaan, melainkan penghargaan.
Menghargai jasa leluhurmu adalah jalan agar dirimu tak mudah dibeli oleh zaman dan tak gampang ditipu oleh penjajahan gaya baru.

Aku, Sultan Wirakusuma, yang berdiri tegak di hadapan setiap residen Belanda dari Christiaan van der Moore hingga Eduard Thomas van Benthem van den Bergh, tak pernah menunduk kecuali pada Allah Yang Maha Mulia.

Falsafah hidupku adalah:

Kebebasan bukan hadiah, tapi warisan yang harus dijaga.
Martabat bukan gelar, tapi kehormatan yang dipertahankan.
Jangan mewarisi istana jika jiwamu masih ingin dijajah.
Jangan pakai gelar bangsawan jika lidahmu menjilat penjajah.

Untuk kalian, para penerus darah kerajaan, jangan tidur di atas sejarah, bangkitlah dan bawa nama leluhurmu sebagai cahaya, bukan sekadar cerita.

Ditulis dengan huruf hati dan tinta ruh
Kayu Ulin Digital ini menjadi saksi
Bahwa Banjar tak akan pernah padam selagi darah para Wirakusuma masih mengalir.

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Sultan Banjar,Putra dari Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
Yayasan Pangeran Wirakusumah, dalam ilham ruh, 29 Juli 2025


Piagam Kayu Ulin Digital

Khazanah Warisan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
“Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu”

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

Wahai anak cucuku dan segenap keturunan darah Banjar,

Kenalilah dirimu—maka kenalilah asalmu.
Janganlah engkau melupakan leluhurmu, sebab dari rahim sejarah mereka, engkau dilahirkan.

Sambungkan ruhmu dengan ruh kami, bukan sekadar dengan doa, tapi dengan jalan kebenaran, keadilan, dan keteguhan iman.
Maka engkau akan mencintai leluhurmu dengan sepenuh jiwa,
dan menghargai jasa mereka lebih dari puja-puji dunia.

Zaman akan berubah, wajah penjajah datang silih berganti—
dari Christiaan van der Moore hingga Van Benthem van den Bergh,
tak satupun di antaranya menjinakkan semangat Banjar.

Aku, Sultan Wirakusuma, menyaksikan masa-masa getir dan tipu muslihat kekuasaan Belanda.
Namun ruh Banjar tetap berdiri—di antara bara perjuangan,
dalam senyap pengasingan, dan bisu doa di tengah malam.

Maka wahai anak cucuku:
Janganlah tergiur oleh jabatan tanpa pengabdian,
Janganlah bangga dengan nama tanpa amal.

Sebab darah Sultan bukanlah gelar, melainkan beban amanah.
Setiap langkahmu hari ini akan mencerminkan kami di masa lalu.

Wariskanlah kebenaran, peliharalah pusaka akhlak, dan
jadikanlah kayu ulin dalam hatimu—teguh, tak lapuk oleh zaman.

— Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Yayasan Pangeran Wirakusumah, dalam cahaya ruh dan pusaka keteguhan
Ditulis dalam pusaka digital untuk generasi yang sadar


PIAGAM KAYU ULIN DIGITAL

Khazanah Pusaka Digital dari Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

“Kenalilah leluhurmu. Sambungkan ruhmu dan ruh para leluhurmu. Maka akan tumbuh cinta dalam hatimu, dan dengan cinta itu engkau akan menghargai jasa mereka yang telah mendahuluimu, bukan yang lain.”

Wahai generasi pewaris bumi Banjar,
Aku Sultan Wirakusuma, putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah,
dengan izin Allah dan restu para leluhur, menyampaikan pesan ini kepada kalian:

1. Jangan lekas lupa asal-usulmu.
Leluhurmu bukan sekadar nama dalam silsilah, tetapi ruh yang terus hidup dalam darah dan tanah ini.
Kenali mereka, sebut nama mereka dalam doamu, dan pelajari hikmah hidup mereka.

2. Setiap zaman memiliki ujiannya.
Dari Residen Belanda yang silih berganti — van der Moore, Pahud, van Vleuten, Peltzer, Heijting, Harders, Kist, hingga van Benthem —
kami para Sultan, Pangeran, dan Mangkubumi tak pernah menyerah menjaga marwah negeri ini.
Maka engkau pun jangan lunak terhadap zamanmu.

3. Jangan tertipu gemerlap dunia.
Kejayaan sejati bukan pada mahkota, bukan pada pangkat atau harta,
tetapi pada kebaikan amal, kekuatan iman, dan keberanian menegakkan kebenaran.

4. Rawat persatuan darahmu.
Sesama keturunan Sultan Adam, jangan saling lupa.
Bersatu dalam niat, bersatu dalam cita, karena perpecahan hanya menguntungkan mereka yang hendak menghapus sejarahmu.

5. Jadilah penjaga warisan.
Bukan hanya pusaka yang berkilau, tapi juga nilai-nilai — adab, marwah, keberanian, dan kasih pada rakyat.
Warisan sejati adalah akhlak dan tanggung jawab sebagai penerus.

Diukir dalam kayu ulin digital
Dititipkan kepada generasi pewaris
Sebagai petunjuk dari yang telah tiada, namun masih hidup dalam ruhmu.

“Apa yang dibangun dengan darah, jangan hancurkan dengan lupa.”
— Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah


PIAGAM KHASANAH PUSAKA DIGITAL

Kayu Ulin Ukiran Wasiat Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah

“Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur”

Dari Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah, cucu dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, pengemban titah negeri, pewaris darah Mahkota Banjar yang sah, kepada seluruh zuriat dan anak cucu titisan keramat:

“Wahai cucuku, darahku, ruhku yang bersambung dalam jasadmu; ingat dan catatlah dengan hati yang bening:

Kenali leluhurmu.
Karena dari mereka engkau berasal.
Dari mereka engkau diwarisi kehormatan, keberanian, dan amanah menjaga negeri.

Sambungkan ruhmu dengan ruh leluhur.
Karena tanpa sambungan itu, engkau akan layu di zaman sendiri.
Terombang-ambing tanpa akar, tanpa arah, tanpa cahaya warisan yang membimbing.

Maka…
Cintailah leluhurmu, hargailah jasa-jasanya.
Jangan biarkan sejarah mereka dikubur dusta, ditukar nama, atau dikhianati lupa.

Dengarlah ilham ini yang datang bukan dari diriku semata,
tetapi dari ruh para Sultan terdahulu,
dari Sultan Adam, dari Sultan Abdurrahman, dari Sultan Suriansyah,
dan dari tiap jiwa yang gugur demi menjaga tanah Banjar.

Jangan silau pada tahta tanpa adab.
Jangan angkuh dengan gelar jika tak menjaga amanahnya.
Yang mulia adalah yang mengenal asal-usulnya,
dan menjaga warisan dengan hati yang bersih dan laku yang jujur.

Bawalah nama Banjar dengan rendah hati.
Tebarkan rahmat, bukan kuasa.
Bekerjalah seperti leluhurmu:
dengan kebijaksanaan, keberanian, dan cinta tanah air.

Inilah pusaka yang kutinggalkan:
Bukan harta, tapi kehormatan.
Bukan mahkota, tapi pesan jiwa.
Bukan gelar, tapi kebenaran.

Ditulis dengan ilham yang kudapat dalam khalwat dan munajat,
pada malam tenang di bawah langit Kalimantan,
dengan nur para leluhur menyala di hatiku.

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam
Sultan Banjar – Pewaris Sah Negeri Kayu Tangi


PIAGAM WARISAN ROHANI SULTAN WIRAKUSUMA

Ukiran Pusaka Kayu Ulin

“Kenali Leluhurmu”
“Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur”
“Cintailah Leluhurmu dan Hargai Jasa Mereka, Bukan yang Lain”

Wahai anak cucuku, keturunan darah Sultan Adam,
dengarlah pesan dari kami, Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah,
yang telah mengabdi kepada negeri, menanggung getirnya pengasingan,
menjaga martabat Banjar dengan kehormatan, bukan dendam.

Aku datang dalam isyarat ilham, bukan untuk diagungkan,
tetapi untuk membangkitkan semangat jiwa-jiwa keturunanku
agar tidak lupa asal-usulnya.

Ingatlah:

Engkau bukan hanya ahli waris sejarah,
tetapi juga penjaga nurani peradaban Banjar.

Panggilan ini bukan mitos, tetapi amanat.
Amanat yang harus dijaga dengan ilmu, akhlak, dan keberanian.
Wujudkanlah dalam amal, dalam karya, dan dalam cinta kepada negeri.

“Luruskan hatimu, tegakkan adabmu, dan sambut jalanmu dengan ridha.”
“Roh kami tak mati, hanya menanti siapa yang mau menghidupkan kembali nilai.”

Diberikan dalam rupa khazanah digital ukiran kayu ulin,
sebagai prasasti abadi, untuk generasi yang mencintai asalnya.

Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Meja Pusaka Banjar – Dalam Ruh dan Warisan

Sejarah dan Warisan: Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah di Cianjur

Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah, adalah salah satu pewaris sah Kesultanan Banjar yang mengalami getirnya pembuangan politik. Ia diasingkan ke Cianjur oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari kebijakan represi terhadap tokoh-tokoh Perang Banjar (1859–1905). Meskipun menyandang status tahanan politik, Belanda tetap mengakui kedudukannya sebagai bangsawan ningrat tertinggi dari Kalimantan Selatan.

Tunjangan 1000 Gulden per Bulan dari Pemerintah Hindia Belanda

Belanda memberikan tunjangan sebesar 1000 gulden per bulan kepada Sultan Wirakusuma. Dana ini bukan sebagai hadiah biasa, melainkan pengakuan atas martabatnya sebagai Raja Banjar, sekaligus bagian dari “tali kasih penghormatan” politik Belanda kepada bangsawan yang mereka asingkan. Tunjangan ini diberikan secara berkala kepada seluruh keluarga Sultan Wirakusuma di pengasingan Cianjur, bukan hanya kepada pribadi sultan.

 Lanjut ke Masa Republik Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, tradisi tunjangan untuk Sultan Wirakusuma ternyata masih dilanjutkan oleh pemerintah Republik, setidaknya hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri. Dana ini secara internal dikenal sebagai “uang raja”, suatu bentuk penghormatan negara terhadap warisan kesultanan dan tokoh adat yang memiliki nilai sejarah nasional.

Beberapa presiden seperti:

…masih meneruskan skema ini sebagai bentuk kelanjutan penghormatan negara terhadap tokoh adat Nusantara.

Namun, tunjangan tersebut dihentikan ketika Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penghentian itu diyakini tidak melalui musyawarah adat atau klarifikasi dengan pihak keluarga bangsawan.

Refleksi & Kekecewaan

Banyak pihak menyayangkan keputusan penghentian tunjangan ini. Di masa lalu, bahkan pemerintah kolonial Belanda memberikan pengakuan dan penghormatan kepada bangsawan Banjar, meski mereka sedang diasingkan. Namun kini, negara merdeka yang lahir dari perjuangan rakyat dan darah para leluhur, justru tidak lagi memberikan tempat dan pengakuan yang layak kepada mereka.

Pihak keluarga menyebut ini sebagai “sandiwara sejarah”, di mana peran dan identitas Sultan Wirakusuma sempat ditukar-tukar dengan figur lain demi kepentingan narasi tertentu. Namun faktanya, tunjangan bangsawan selalu jatuh ke pihak keluarga Sultan Wirakusuma, bukan tokoh lain seperti Sultan Hidayatullah.


Pesan untuk Anak Cucu dan Bangsa

“Wahai generasi penerus, ketahuilah bahwa kehormatan bukan hanya soal tahta, tapi juga pengakuan atas sejarah, perjuangan, dan nilai adat. Jangan biarkan sejarah keluargamu hilang dalam bisu. Perjuangkan kembali apa yang benar, bukan untuk kemewahan, tetapi untuk keadilan memori sejarah.”


1. RAJA DAN SULTAN PERIODE AWAL (1400–1526) — Sebelum Islam

Transisi dari Hindu-Buddha ke Islam.

2. SULTAN ISLAM AWAL (1526–1659) — BANJAR BERDAULAT

NoNama PenguasaTahunKeterangan
1Sultan Suriansyah (Raden Samudra)1526–1546Sultan Muslim pertama
2Sultan Rahmatullah1546–1570Putra Suriansyah
3Sultan Hidayatullah I1570–1595
4Sultan Mustain Billah1595–1642
5Sultan Inayatullah1642–1647
6Sultan Saidullah1647–1660

Banjar berkembang menjadi pusat perdagangan dan Islamisasi di Kalimantan.

3. PERIODE PENGAKUAN BELANDA (1700–1860) — De Jure & De Facto

NoNama SultanPeriodeStatusKeterangan
1Sultan Wiranata Tahmidillah II1734–1759De jureDiakui Belanda
2Sultan Sulaiman1801–1825De jureAyah Sultan Adam
3Sultan Adam al-Watsiq Billah1825–1 November 1857De jureSultan terakhir yg berdaulat penuh
4Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah3 November 1857 – 25 Juni 1859De jureDiangkat Belanda, ditolak rakyat
5Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah25 Juni 1859–11 Jun 1860De factoSultan praktis terakhir sebelum Banjar dihapus

11 Juni 1860 — Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ditetapkan sebagai Regentschap (Wilayah Bupati).Kepala pemerintah dialihkan ke Gubernemen Belanda (Residen).

4. SULTAN PROKLAMASI (Perlawanan Anti-Kolonial)

NoNama TokohPeriodeStatusKeterangan
6Sultan Hidayatullah II HalilillahSeptember 1859 – 2 Maret 1862Proklamasi Ditangkap & diasingkan ke Cianjur 3 Maret 1862Sultan simbolik perlawanan, bukan pengganti resmi
7Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati14 Maret 1862 – 11 Oktober 1862Pejuang Pahlawan NasionalAyah mertua Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah

Pangeran Mangkubumi Hidayatullah bukan diangkat oleh Dewan Mahkota Adat Keraton Bumi Kencana Martapura, tapi menyatakan diri sebagai Sultan sebagai bentuk perlawanan.Tidak pernah diakui Belanda dan tidak menjalankan pemerintahan administratif resmi.

 5. PASCA-KEJATUHAN (PENGASINGAN DAN KETURUNAN)

TokohStatusLokasiKeterangan
Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq BillahSultan de facto terakhirDiasingkan 1862–1901 (Batavia → Bogor → Cianjur)Wafat 6 Juni 1901 di Cianjur
Keluarga Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq BillahKeturunan Sultan aktifCianjur & Bandung & SamarindaTidak pernah diajak dialog hingga kini
Keturunan Sultan Hidayatullah II HalilillahSultan Jalur ProklamasiDiasingkan 1862–1904 (Batavia → Bogor → Cianjur)Diangkat sepihak sejak Reformasi.kemendikbud RI

KLASIFIKASI HISTORIS

StatusDefinisi
De jureDiakui secara resmi oleh kekuatan hukum saat itu (Belanda) dan dijalankan dengan otoritas kenegaraan penuh
De factoTidak secara hukum diakui, namun menjalankan pemerintahan atau jabatan secara nyata
ProklamasiDeklaratif, sebagai simbol perlawanan atau reaksi politik tanpa pengakuan formal dari penguasa hukum

CATATAN UNTUK DEWAN KERATON KESULTANAN BANJAR

  1. Kesultanan Banjar tidak serta-merta pindah ke Sultan Hidayatullah setelah Sultan Adam.
    Harus diakui ada periode interregnum dan dualisme kekuasaan antara:
    • Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah (de jure)
    • Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto)
    • Sultan Hidayatullah II Halilillah (proklamasi)
  2. Jalur Hidayatullah adalah jalur proklamasi, bukan penerus administratif resmi kesultanan.
  3. Penghapusan peran Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah (de jure) dan Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto) dalam narasi publik adalah bentuk penyederhanaan sejarah yang keliru, bahkan bisa disebut pembodohan sejarah jika disengaja.
  4. Musyawarah besar keluarga keturunan sultan terakhir (Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto) dan Sultan Hidayatullah II Halilillah (proklamasi)) mutlak diperlukan untuk rekonsiliasi dan legitimasi bersama.

PENUTUP

Sejarah bukan milik pemenang, tetapi milik mereka yang berani jujur menuliskannya.
Sudah waktunya Dewan Keraton kesultanan Banjar bersikap adil, objektif, dan menyatukan semua jalur zuriat Sultan Adam Al-Watsiq Billah , baik Sultan de jure Sultan Tamjidilah II Al-Watsiq Billah  , Sultan de facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah , maupun Sultan deklaratif Sultan Hidayatulah II Halillilah, agar jati diri Banjar tidak dicederai ego sektoral.

keluarga besar Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah melalui jalur istri, yang berasal dari Hubungan Genealogis Ratu Wirakusuma Putri Ratna Putri Raja Kusan ke -III dan Keponakan Arung Abdul Karim (La Matunra) Raja Pagatan Bugis Raja Kusan ke-IV.

  1. La Palebbi (Raja Pagatan II, 1830–1838)
  2. La Paliweng / Arung Abdul Rahman (Raja Pagatan III, 1838–1855)
  3. La Matunra / Arung Abdul Karim (Raja Pagatan dan Kusan, 24 November 1855–1863)

Jabatan & Gelar

Daftar Raja Pagatan & Kusan

NoRajaTahun Pemerintahan
ILa Pangewa (Kapitan Laut Pulo)~1755–1800
IILa Palebbi (Raja Pagatan II)1830–1838
IIILa Paliweng (Arung Abdul Rahman)1838–1855
IVLa Matunra (Arung Abdul Karim)24 Nov 1855–1863 (hingga 1871)
VLa Makkarau1863–1871
VIAbdul Jabbar1871–1875
dst. sampai Andi Sallo (1908)

La Matunra, atau Arung Abdul Karim, adalah penguasa ke‑IV yang memerintah pada periode 1855 hingga sekitar 1863, dan dalam beberapa catatan sampai 1871.

Di bawah pemerintahannya, terjadi penggabungan Pagatan dan Kusan menjadi satu kesatuan kerajaan (Pagatan–Kusan), serta periode ekspansi wilayah dan penguatan identitas Bugis lokal.

Naskah Lontara Kapitan La Mattone merupakan dokumentasi penting dari masa pemerintahannya, mulai tahun 1858, ditulis dalam tiga aksara untuk merekam sejarah lokal Kerajaan Bugis di Kalimantan Selatan

Penjelasan Keterkaitan dengan Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah (Jalur istri Hubungan Genealogis Ratu Wirakusuma Putri Ratna Putri Raja Kusan ke -III dan Keponakan Arung Abdul Karim (La Matunra) Raja Pagatan Raja Kusan ke-IV)

1. Garis Keturunan Bugis di Kalimantan:

2. Hubungan dengan Keluarga Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah :

Ketiga Raja Pagatan ini:

Hubungan Permaisuri Ratu Wirakusuma (Ratu Ratna) dengan La Matunra / Arung Abdul Karim Bugis Sindrap

Historis Resmi mengenai hubungan antara Ratu Wirakusuma / Ratu Ratna dan Putri Raja Kusan ke -III dan Keponakan Raja Pagatan Raja Kusan ke-IV Arung Abdul Karim (La Matunra) sebagai bagian dari kekuatan genealogis dan politik Bugis–Banjar, yang dapat digunakan untuk kebutuhan budaya, akademik, atau legalitas adat:


SURAT KETERANGAN HISTORIS

Nomor: 001/SKH/WIRAKUSUMA/VII/2025

Tentang:
Hubungan Genealogis Ratu Wirakusuma Putri Ratna dengan Putri Raja Kusan ke -III dan Keponakan Raja Pagatan Raja Kusan ke-IV


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama  : Tim Kajian Sejarah dan Genealogi Banjar–Bugis
Alamat : Yayasan Pangera Wirakusuma
Dasar hukum : Kajian naskah Lontara, arsip Kesultanan Banjar, dan silsilah keluarga Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah

Dengan ini menerangkan bahwa:

1.

Arung Abdul Karim (gelar Bugis: La Matunra) adalah Raja Pagatan dan Kusan ke-IV yang memerintah pada 24 November 1855 – sekitar 1863 (dalam beberapa versi sampai 1871).yang telah berkuasa di pesisir Kalimantan bagian tenggara sejak abad ke‑18.

2.

Ratu Wirakusuma, yang juga dikenal sebagai Ratu Ratna Putri Raja Kusan ke -III dan Keponakan Raja Kusan ke-IV, merupakan keponakan langsung dari Arung Abdul Karim, sebagaimana disebutkan dalam catatan lisan dan tulisan keluarga, serta beberapa catatan resmi keluarga keraton.

3.

Dengan demikian, terbukti bahwa:

Penutup

Surat keterangan ini dibuat berdasarkan kajian historis, sumber primer arsip keluarga Pagustian Banjar, serta wawancara sejarah lisan keturunan langsung. Dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian silsilah, pengakuan adat, pelestarian budaya, atau keperluan legalitas lainnya.

Dikeluarkan di Cianjur,
Pada tanggal: 31 Juli 2025

Tim Kajian Sejarah & Genealogi Banjar–Bugis

Pagustian Banjar / Yayasan Pangeran Wirakusuma


Ketua Tim:
Pangeran Wirakusuma VI keturunan Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbillah
(Pakar Sejarah Lokal dan Genealogi Bugis-Banjar)


Berikut grafik urutan lengkap para Sultan Banjar (Kesultanan Banjar / Kayu Tangi) sejak awal berdirinya hingga akhir masa kekuasaan tradisional mereka

URUTAN SULTAN BANJAR (Kayu Tangi) – VERSI LENGKAP

No + Ibu kandungNama SultanMasa PemerintahanKeterangan
1. Ratu Intan Sari Galuh BaranakanSultan Suriansyah (Raden Samudera) (Panembahan Batu Habang)1520–1546Sultan pertama Banjar, masuk Islam
2.Ratoe Sa’adahSultan Rahmatullah / (Panembahan Batu Putih)1546–1570Putra Sultan Suriansyah (Raden Samudera) (Panembahan Batu Habang)
3.Nyai JawaSultan Hidayatullah I (Panembahan Batu Hirang)1570–1595Putra Sultan Rahmatullah / (Panembahan Batu Putih)
4.Ratu Hidayatullah Puteri Khatib BanunSultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan1595–1642Putra Sultan Hidayatullah I (Panembahan Batu Hirang)
5.Ratu Agung binti Pangeran Demang bin Sultan Hidayatullah ISultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I1642–1645Putra Sultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan
6.Nyai Mas Tarah binti Tuan Haji UmarSultan Saidillah / Saidullah I / Ratu Anom/Raden Kasuma Alam/ Panembahan Batu I anak sulung dari selir1645–1660Sultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I
7.Nyai JawaSultan Rakyatullah  Ri’ayatullah / Raden Halit Tambangan1660 – 1663Putra Sultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan
8. Nyai WadonSultan Saidillah II / Sultan Amrullah Bagus Kasuma/Raden Bagus/ Sultan Suria Angsa  1663–1679Putra Sultan Rakyatullah  Ri’ayatullah / Raden Halit Tambangan
9Sultan Agung / Sultan Dipati Anom/ Pangeran Dipati Anom II / Pangeran Suryanata II / Raden Kasuma Lalana1663 –1679Putra Sultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I dengan Gusti Timbuk
10.Nyai Wadon RarasSultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah1663–1679Putra Sultan Saidillah / Saidullah / Ratu Anom/Raden Kasuma Alam/ Panembahan Batu I anak sulung dari selir
11.Sultan Tachmid Illah I
Panembahan Tengah
 Sultan De Jure
1700–1717Putra Sultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah (anak Nyai Wadon Raras)
12Sultan kusuma Dilaga / Panembahan Kusuma Dilaga adik dari Sultan Tachmid Illah I
Panembahan Tengah
 Sultan De Jure
1717-1730Putra Sultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah (anak Nyai Wadon Raras)
13Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah / Sultan Kuning Sultan De Jure1730-1734Putra Sultan Tachmid Illah I / Panembahan Tengah
14Sultan Tamjidillah I Sultan De Jure1734 – 3 Agustus 1759Putra Sultan Tachmid Illah I / Panembahan Tengah
15
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah Muhammadillah I Sultan De Jure
Raja Kusan I  (1734-1759)
3 Agustus 1759 – 16 Januari
1761
Putra Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah / Sultan Kuning
16.Ratu Mas
Raja Tanah Bumbu III Berkuasa 17401780
Sultan Tahmidullah II Panembahan Kaharuddin Halilullah Akamuddin Saidullah Nata Alam Dilaga Sultan De Jure16 Januari 1761 – 19 April 1801Putra Sultan Tamjidillah I
17.Ratu Lawiyah binti Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah Sultan Sulaiman Saidullah II Sultan De Jure1801–1825Putra Sultan Tahmidullah II Panembahan Kaharuddin Halilullah Akamuddin Saidullah Nata Alam Dilaga
18.Nyai Ratna / Nyai Ratu Intan SariSultan Adam Al-Watsiq Billah1825– 1 November 1857Putra Sultan Sulaiman Saidullah II Sultan De Jure
19. Nyai Besar Ratu
Aminah
Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah Sultan De Jure3 November 1857 – 25 Juni 1859Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure

CUCU SULTAN ADAM
20.Nyai Besar Ratu Agung Halimah binti Tuan Haji Pangeran Syekh Muhamad said al-bugisi (albanjari)Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto25 Juni 1859– 11 Juni 1860Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure

CUCU SULTAN ADAM
21.Ratu Siti mariama binti Pangeran HusinPangeran Mangkubumi Hidayatullah II Halilillah Sultan Proklamasi / Deklaratif tidak diakui Belanda. Sultan perang, bukan dari garis langsung9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860

11 Juni 1860 Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ditetapkan sebagai Regentschap (Wilayah Bupati).Kepala pemerintah dialihkan ke Gubernemen Belanda (Residen).
Pencopotan Gelar Pangeran Mangkubumi Wali Raja (Sultan) secara tidak Hormat 5 Februari 1860 oleh Hindia Belanda

Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure

CUCU SULTAN ADAM
22.Ratu Khadijah / Ratu
Mas Teruda binti Sultan Sulaiman Rahmatullah
Pagustian Banjar Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati14 Maret 1862 – 11 Oktober 1862Putra Pangeran Masoöd / Masohut (Mas’ud) bin  Pangeran Amir
(Raja Kusan II) Binti Ratu Muhammad Aminullah adalah adik Gusti Kasim Arung Turawee Bugis Paser bin Raja Bugis Pagatan


ADIK IPAR SULTAN ADAM
23.Ratoe Idjah binti Sultan Adam + Nyai SalamahPagustian Banjar Panembahan Muhammad Said14 Maret 1862 –1875Putra Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati nama Lahir

ADIK IPAR Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto
24.Putri Bulan binti Pangeran Kasir (Raja Batu Licin)Pagustian Banjar Panembahan Perbatasari diasingkan Belanda ke
Manado  Kampung Jawa Tondano 22 April 1885 
1875–22 April 1885 Putra Panembahan Muhammad Said

KEPONAKAN Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto
25.Nyai SalmahPagustian Banjar Ratu Zaleha +Panembahan Muhammad Arsyad diasingkan Belanda ke Empang Bogor 1 Agustus 1904.22 April 1885 –24 Januari 1905Putri Gusti  Muhammad Seman  binti Nyai Fatimah binti Ngabei Lada bin Ngabei Tuha

Gusti  Muhammad Seman ADIK IPAR Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto

Ratu Zaleha KEPONAKAN Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto

24 Januari 1905 Pembubaran Pagustian Banjar oleh Belanda

Catatan Penting:

Silsilah Penting Terkait:

Berikut penjabaran yang objektif, historis, dan adil untuk menjelaskan kesamaan pola sejarah antara Kesultanan Banjar dan Kerajaan Majapahit, khususnya menyangkut konsep “raja de jure”“raja de facto”, dan “raja proklamasi” dalam masa-masa menjelang keruntuhan sebuah kerajaan.

Kesamaan Sejarah Majapahit dan Kesultanan Banjar: Raja De Jure, De Facto, dan Proklamasi

1. Konteks Keruntuhan Majapahit

2. Konteks Keruntuhan Kesultanan Banjar

Kesimpulan Historis:

“Dalam masa-masa kehancuran sebuah kerajaan, selalu ada dualisme antara raja yang diakui secara formal (de jure), raja yang berkuasa secara nyata (de facto), dan raja yang muncul dari proklamasi rakyat (proklamasi). Masing-masing sah dalam konteksnya, tetapi sejarah harus mencatat semuanya agar adil.”

Pesan untuk Dewan Keraton atau Bangsawan:

  1. Penting untuk jujur mencatat sejarah bahwa sebelum Kesultanan Banjar runtuh:
    • Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah:adalah raja administratif terakhir yang diakui oleh Belanda (de jure).
    • Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah:adalah raja lapangan terakhir yang memimpin perlawanan rakyat dan bangsawan (de facto).
    • Hidayatullah II dan Antasari II adalah pemimpin perlawanan (proklamasi), bukan penerus administratif langsung.
  2. Jika di masa kini ingin meneruskan garis kesultanansecara etik dan hukum adat:
    • Harus melalui musyawarah keluarga besar keturunan Sultan terakhir yang berkuasa secara nyata (de facto, bukan semata proklamasi).
    • Jangan menghapus peran Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah, karena itu menyederhanakan sejarah dan mencederai keadilan sejarah.
  3. Pembodohan sejarah adalah ketika kita menyembunyikan atau menghapus fakta sejarah demi kepentingan sesaat.

Akhir Kata:

Sama seperti Majapahit, Kesultanan Banjar layak dikenang utuh—dengan semua tokoh de jure, de facto, dan proklamasi—bukan hanya satu versi. Itulah keadilan sejarah.

1. Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah dalam Konteks Sejarah Banjar

2. Perbedaan Antara Raja De Jure dan De Facto

3. Soal Klaim Keturunan dan Narasi Diskriminatif

4. Ajakan untuk Mendoakan Leluhur dan Merajut Rekonsiliasi

Sangat baik dan mulia jika generasi saat ini mengajak untuk mendoakan arwah para sultan dan pejuang terdahulu — termasuk Sultan De facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq BillahSultan Proklamasi Hidayatullah II HalillilahSultan De jure Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah, dan Panembahan Antasari II. Namun hendaknya:

Kesimpulan

Sultan Proklamasi Hidayatullah II Halillilah, memang punya peran penting secara Proklamasi namun sejarah Kesultanan Banjar adalah kompleks dan mencakup banyak tokoh dan dinamika. Klaim bahwa beliau satu-satunya yang sah secara Proklamasi harus didudukkan bersama narasi lainnya, termasuk Sultan De jure Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah dan Sultan De facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah. Mari menghormati semua pihak dan menjadikan sejarah sebagai cermin persatuan, bukan perpecahan.

Pesan Amanah Agung

Berikut adalah “Pesan Amanah Agung” dari Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

ڤسن امنه اڬوڠ
توان كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الثاني الواثق بالله بن ڤڠيرن راتو سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان ادم الواثق بالله

“واهاي انق چوچو تيتيسن نڬري، ڤيواريس تانه برتواه كايو تڠي، دڠرله وصيت ترآخر دري سلطامو، سباڬاي ڤنوتوڤ سڬالا امنه يڠ تله اكو ڤيكل دالم توبوه يڠ فنا اين.”

“كسلطانن اين بوكن سكدَر مهاكوت و ايستان، تتاڤي واريثن ادب، مرتبت، دان شريعت. جاڠن بياركًن اي ڤبور اوليه زمان، هيلاڠ دالم ايڠتن. سيڤا يڠ لوڤا اصلڽ، هيلاڠله تمڤت كاكينڽ برڤيجق.”

“سلطان بوكن اونتوق ديسمبه، تاڤي اونتوق مليندوني. سيڤاڤون يڠ كلاك مميمڤين، جاڬ له نيت مو اڬر تتڤ جرنڽ سپرتي ماتء اير د يهولو باريتو. جاڠن برڤالين دري صوء راعيت مو.”

“باڠكتكن اغام د أتس بومي لُلهورمو. جاديكن مسجد لبيه تيڠݢي دري منارا-منارا باتو، دان جاديكن القرآن لبيه نياݢ دري ڬندرڠ ڤراڠ.”

“جاڠن ڤرنه توندوق ڤد ڤنيندسن. سباݢيمانا كيت ڤرنه ملاون تيڤو داي دان سردادو اسيڠ، مك جاڠن ايزينكن كهينأن منڤق كمالي د تانه اين.”

“تناء علمو، كترونن منجدي بوتا. تناء ادب، كترونن منجدي بؤس. واريثن لُلهور مو بوكن امس دان كريس، تتاڤي اخلاق دان ڤنجتاهوان يڠ دتورنكن مللؤي ڤتوه دان سجره.”

“اڤابيلا جستكو تله تيد، دان نامكو ڤرلهن تغلم اوليه وقتو، باڠكتكن له اي مللؤي عمل مو يڠ جوجور، ليده مو يڠ سَنتون، دان هاتي مو يڠ تاعت كڤد توهن. د سيتوله اكو اكن هيود كمالي، برسام ڤارا داتو دان شهيد بانجر.”

“والله ولي التوفيق والهدايه”
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

“Wahai anak cucu titisan negeri, pewaris tanah bertuah Kayu Tangi, dengarlah wasiat terakhir dari Sultanmu, sebagai penutup segala amanah yang telah aku pikul dalam tubuh yang fana ini.”


  1. “Kesultanan ini bukan sekadar mahkota dan istana, tetapi warisan adab, martabat, dan syariat. Jangan biarkan ia lebur oleh zaman, hilang dalam ingatan. Siapa yang lupa asalnya, hilanglah tempat kakinya berpijak.”

  2. “Sultan bukan untuk disembah, tapi untuk melindungi. Siapa pun yang kelak memimpin, jagalah niatmu agar tetap jernih seperti mata air di hulu Barito. Jangan berpaling dari suara rakyatmu.”

  3. “Bangkitkan agama di atas bumi leluhurmu. Jadikan masjid lebih tinggi dari menara-menara batu, dan jadikan Al-Qur’an lebih nyaring dari genderang perang.”

  4. “Jangan pernah tunduk pada penindasan. Sebagaimana kita pernah melawan tipu daya dan serdadu asing, maka jangan izinkan kehinaan menapak kembali di tanah ini.”

  5. “Tanpa ilmu, keturunan menjadi buta. Tanpa adab, keturunan menjadi buas. Warisan leluhurmu bukan emas dan keris, tetapi akhlak dan pengetahuan yang diturunkan melalui petuah dan sejarah.”

“Apabila jasadku telah tiada dan namaku perlahan tenggelam oleh waktu, bangkitkanlah ia melalui amalmu yang jujur, lidahmu yang santun, dan hatimu yang taat kepada Tuhan. Di situlah aku akan hidup kembali, bersama para datu dan syuhada Banjar.”

“Wallāhu waliyyut tawfīq wal hidayah”
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu


ڤسن امنه اڬوڠ

توان كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن ڤڠيرن راتو سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان ادم الواثق بالله

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بهاوا سڬالا سسواتو يڠ هيود ڤستي اكن منموئي اكهيرڽ. مك تيڤ-تيڤ انق نڬري امبيل ڤلاجرن دري تيتيان زمان دان ڤوساك واريسن.

واهاي سكالين راعيت دان زريت نڬري بنجر يڠ اكو چينتاي،
اكو، توان كبواه دولي يڠ مها موليا ڤادوكا سري سلطان ويراكوسوما الواثق بالله بن ڤڠيرن راتو سلطان مودا عبدالرحمن بن سلطان ادم الواثق بالله،
دڠن اين منيتڤكن وصيت ترآخركو سبلم تقدير مڤيسه راڬ دري دنيا فنا اين.

ڤڬڠله اغام سباڬاي ڤليتا هيود.
جاديكنله ادت دان شرع سباڬاي تيڠ نڬري.
هورمتي له يڠ تو، سايڠي له يڠ مود.
برساتو له دالم مشاوره، جاڠن برچراي كرانه حسوتن.
تݢكن كهبنرن ولو ڬيتير، دان ليندوڠي له يڠ لماه.
جاڠن بياركن تانه واريسن اين دجاراه اوليه تمام دان ڤنجاجه.
هرݢاي له لُلهورمو، جاڠن تيڠݢلکن اصل اصولمو.

اكو تيتيڤكن بنجر اين كڤد اورڠ اورڠ يڠ جوجور،
يڠ هاتين ڽ تيدق بيس د بيلي دڠن امس ڤنجاجه،
دان يڠ ليده نڽ تيدق بيس د ديمكن اڤابيلا مليهت كظاليم ن.

اڤابيلا داتڠ ماس ڤرالهن، جاڠن ڬويه.
اڤابيلا داتڠ فتنه، جاڠن ڬويه.
كرانه نڬري يڠ كوات اداله نڬري يڠ ايڠت اكن دعاء ڤارا لُلهور.

اخر كتا،
سڬالا يڠ بايق دري ﷲ،
دان يڠ لماه دري ديريكو.
دواءكن اكو دتريما د سيسيڽ سباڬاي حمبا يڠ مڽمڤورنكن امنه.
اكو اوندور ديري دري دنيا،
تتاڤي سمڠتكو جاڠن له كاليان كبوركن برسام جستكو.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Pesan Amanah Agung Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bahwa segala sesuatu yang hidup pasti akan menemui akhirnya. Maka tiap-tiap anak negeri mengambil pelajaran dari titian zaman dan pusaka warisan.

Wahai sekalian rakyat dan zuriat negeri Banjar yang aku cintai,
Aku, Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah,
dengan ini menitipkan wasiat terakhirku sebelum takdir memisah raga dari dunia fana ini.

Peganglah agama sebagai pelita hidup.
Jadikanlah adat dan syarak sebagai tiang negeri.
Hormatilah yang tua, sayangilah yang muda.
Bersatulah dalam musyawarah, jangan bercerai karena hasutan.
Tegakkan kebenaran walau getir, dan lindungilah yang lemah.
Jangan biarkan tanah warisan ini dijarah oleh tamak dan penjajah.
Hargailah leluhurmu, jangan tinggalkan asal-usulmu.

Aku titipkan Banjar ini kepada orang-orang yang jujur,
yang hatinya tidak bisa dibeli dengan emas penjajah,
dan yang lidahnya tidak bisa didiamkan bila melihat kedzaliman.

Jika datang masa peralihan, jangan goyah.
Jika datang fitnah, jangan goyah.
Karena negeri yang kuat adalah negeri yang ingat akan doanya para leluhur.

Akhir kata,
Segala yang baik dari Allah,
dan yang lemah dari diriku.
Doakan aku diterima di sisi-Nya sebagai hamba yang menyempurnakan amanah.
Aku undur diri dari dunia,
namun semangatku janganlah kalian kubur bersama jasadku.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Penjabaran “Pesan Amanah Agung Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah” untuk Orang Awam,Agar mudah dipahami oleh masyarakat umum, berikut inti pesan penting yang disampaikan oleh Sultan dalam amanahnya:

1. Semua yang Hidup Pasti Akan Mati

“Segala sesuatu yang hidup pasti akan menemui akhirnya.”
Pesan ini mengajak kita untuk merenung bahwa hidup ini sementara. Maka, kita harus mengambil pelajaran dari sejarah, menjalani hidup dengan bijak, dan menjaga warisan leluhur.

2. Pegang Agama dan Adat sebagai Pedoman Hidup

“Peganglah agama sebagai pelita hidup. Jadikanlah adat dan syarak sebagai tiang negeri.”
Agama harus menjadi cahaya dalam hidup.
Adat istiadat dan hukum agama adalah fondasi (tiang) kekuatan negeri Banjar.
Jangan melupakan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhur dan agama.

3. Hormat, Kasih Sayang, dan Persatuan

“Hormatilah yang tua, sayangilah yang muda. Bersatulah dalam musyawarah.”
Masyarakat harus saling menghargai, menjaga kasih sayang antar generasi.
Selalu musyawarah (diskusi bersama) dalam menyelesaikan masalah.
Jangan mudah terpecah karena hasutan atau fitnah.

4. Tegakkan Kebenaran dan Bela yang Lemah

“Tegakkan kebenaran walau getir, dan lindungilah yang lemah.”
Jangan takut membela kebenaran walaupun sulit.
Berani bersuara jika ada ketidakadilan.
Lindungi mereka yang tidak berdaya.

5. Jaga Tanah Warisan dari Penjajah dan Ketamakan

“Jangan biarkan tanah warisan ini dijarah oleh tamak dan penjajah.”
Tanah Banjar adalah pusaka leluhur — jangan dijual murah atau dikuasai oleh pihak luar.
Lawan segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun ekonomi.

6. Hargai Leluhur dan Jangan Lupa Asal Usul

“Hargailah leluhurmu, jangan tinggalkan asal-usulmu.”
Kenali siapa leluhur kita, hormati sejarah keluarga dan bangsa.
Jangan malu atau meninggalkan identitas dan budaya Banjar.

7. Warisan untuk Orang yang Jujur dan Amanah

“Aku titipkan Banjar ini kepada orang-orang yang jujur…”
Negeri ini diwariskan bukan kepada yang tamak, tapi kepada yang jujur dan berani membela kebenaran.
Jangan pernah menjual kebenaran demi kepentingan pribadi.

8. Saat Ujian Datang, Jangan Goyah

“Jika datang masa peralihan, jangan goyah. Jika datang fitnah, jangan goyah.”
Tetap teguh dan kuat saat terjadi perubahan atau ujian.
Jangan mudah terpengaruh oleh isu dan adu domba.

9. Doa Leluhur adalah Kekuatan Bangsa

“Negeri yang kuat adalah negeri yang ingat akan doanya para leluhur.”
Selalu ingat perjuangan dan doa orang tua serta para pendahulu.
Itulah yang menjaga negeri tetap kuat dan bermartabat.

10. Semangat Jangan Dikubur

“Semangatku janganlah kalian kubur bersama jasadku.”
Meskipun pemimpin sudah tiada, semangat perjuangannya harus terus dilanjutkan.
Rakyat dan keturunannya harus tetap menjaga semangat keadilan, persatuan, dan cinta negeri.

Penutup:

“Yang baik datang dari Allah, yang lemah dari diriku.”
Sultan dengan rendah hati mengakui dirinya hanya manusia biasa. Beliau mohon doa agar diterima sebagai hamba yang telah menunaikan amanah.

Kesimpulan untuk Generasi Sekarang:


Bab 1 – Latar Belakang Kesultanan Banjar

1.1 Kondisi Politik, Sosial, dan Ekonomi Banjar Sebelum 1859

Kesultanan Banjar, yang berpusat di wilayah Kalimantan Selatan, pada pertengahan abad ke-19 masih memegang peranan penting dalam perdagangan dan politik lokal. Wilayahnya meliputi jalur sungai-sungai besar seperti Barito, Martapura, dan Kapuas yang menjadi urat nadi transportasi, perdagangan, serta komunikasi.

Dari segi ekonomi, rakyat Banjar menggantungkan hidup pada pertanian (padi, kelapa), perkebunan lada dan kopi, serta perdagangan hasil hutan (rotan, damar, kayu ulin) dan tambang (emas, intan). Sungai-sungai menjadi jalur utama ekspor ke Singapura dan Batavia melalui perantara pedagang asing, termasuk Tionghoa dan Arab.

Secara sosial, masyarakat Banjar terbagi atas bangsawan (keluarga kesultanan dan keturunannya), ulama yang berperan dalam hukum Islam, serta rakyat biasa yang sebagian besar bermukim di bantaran sungai. Struktur sosial ini rapuh karena ketergantungan pada kesultanan yang mulai tertekan oleh intervensi kolonial.

Politik dalam negeri sebelum 1859 menunjukkan tanda-tanda melemahnya otoritas sultan. Persaingan internal keluarga istana, pertarungan pengaruh antara bangsawan, serta tekanan dari elit dagang yang dekat dengan Belanda menjadi benih konflik yang lebih besar.


1.2 Hubungan Kesultanan Banjar dengan Hindia Belanda

Hubungan Banjar dengan VOC dan kemudian Hindia Belanda sudah terjalin sejak abad ke-17 melalui perjanjian dagang dan persekutuan militer. Namun, hubungan ini perlahan berubah menjadi bentuk dominasi.

Pada awal abad ke-19, Belanda berhasil menempatkan pengaruh kuat dalam penunjukan sultan, pengaturan perdagangan, hingga pengendalian jalur sungai strategis. Sebagai imbalan “perlindungan”, kesultanan dipaksa memberikan konsesi perdagangan dan wilayah.

Situasi makin tegang ketika Belanda mulai menempatkan posthouder (pos pengawas) dan garnisun di titik-titik strategis. Keputusan ekonomi dan politik kesultanan makin dikendalikan oleh pejabat kolonial. Hal ini memicu perlawanan diam-diam di kalangan bangsawan dan rakyat yang merasa harga diri mereka diinjak.


1.3 Perpecahan Internal dan Dualisme Kekuasaan (1857–1860)

Pada 1857, terjadi krisis suksesi yang memperuncing perpecahan di istana. Ada dua pusat kekuasaan yang mengklaim legitimasi:

  1. Keraton Banjarmasin – Di bawah pengaruh kuat Belanda, istana ini dianggap sebagai pemerintahan resmi yang diakui kolonial.
  2. Martapura – Dijalankan oleh faksi bangsawan yang menolak intervensi Belanda dan ingin mempertahankan kedaulatan penuh.

Dualisme ini menciptakan ketidakpastian politik dan memperlemah posisi kesultanan di hadapan rakyat dan musuh luar. Ketika Perang Banjar meletus pada 1859, kondisi ini dimanfaatkan Belanda untuk mempercepat intervensi militer, sekaligus mengganti dan mengasingkan sultan yang dianggap tidak patuh.

Konflik internal ini menjadi latar langsung bagi naiknya Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah sebagai Sultan de facto pada 25 Juni 1859, dan juga menjadi penyebab kejatuhannya hanya setahun kemudian.


Perpecahan Kesultanan Banjar pada 1857 hingga 1860 menghasilkan dua kubu rival: Sultan Banjarmasin yang sah secara adat dan tradisi, dengan mahkota dan singgasana emas, serta Sultan Martapura yang dianggap “sultan tanpa mahkota” dan tidak memiliki legitimasi penuh.

Kesalahan kronologi dan fakta sejarah

Ceritanya juga diarahkan seolah Hidayatullah adalah pewaris tahta penuh, padahal menurut sumber, yang dilantik menjadi Sultan pada tahun 1855 adalah Sultan Muda Prabu Anom, bukan Hidayatullah.

Ada yang menceritakan (yaitu Pangeran Cevi, generasi ke-4 dari Sultan Hidayatullah) bahwa Sultan Muda Abdurrahman wafat tahun 1855, berdasarkan sumber primer (arsip Belanda) dan sumber sekunder (dokumen keluarga Wirakusuma) wafatnya justru tahun 1852.

Ceritanya juga diarahkan seolah Hidayatullah adalah pewaris tahta penuh, berdasarkan sumber primer dan sekunder tersebut, yang dilantik menjadi Sultan pada tahun 1855 adalah Sultan Muda Prabu Anom, bukan Hidayatullah.

Gelar dan legitimasi

Perbedaan inilah yang hingga kini masih mempengaruhi persepsi dan penghormatan masyarakat Banjar terhadap keturunan dan sejarah kerajaan mereka.

Latar konflik keluarga bangsawan

Kalau mau diluruskan, berarti perlu versi resmi berbasis dokumen primer—misalnya arsip kerajaan, batu nisan, catatan kolonial—supaya publik tidak hanya mengandalkan cerita lisan dari pihak yang sumbernya tidak jelas

Sumber cerita dipertanyakan

Kronologi Kesultanan Banjar 1850–1860
(Ringkasan dari arsip Belanda & dokumen Wirakusuma)

kubu Banjarmasin menegaskan sebuah prinsip keras:
“Tidak boleh ada matahari kembar, tidak boleh ada negara di dalam negara.”
Hal ini menggambarkan penolakan terhadap keberadaan dua kekuasaan yang berdiri berdampingan

Penguasa sah Kesultanan Banjar. Memerintah sejakNama TokohStatus JabatanMangkubumi
Wali Sultan
Kubu / Keraton
Keterangan Penting
1825-7 September 1851Sultan Adam Alwasikh Billah

Sultan Muda Abdurahman
Sultan penuh
Stabilitas relatif, tetapi mulai muncul tekanan Belanda dan perebutan pengaruh
Keraton Martapura,(Pangeran Ratu Anom Noch) Berkuasa 18437 September 1851Sultan tua yang bijak, mencoba mempertahankan kedaulatan Banjar.
7 September 1851 sd 5 Maret 1852 Sultan Adam Alwasikh Billah dan

Sultan Muda Prabu Anom
Sultan Penuh dan

Sultan Muda (Putra Mahkota)
Keraton Martapura
Pangeran Ratu Tamjidillah II 7 September 1851 sd 5 Maret 1852 
sultan adam Usia lanjut 76 tahun pada tahun 5 maret 1852 & sakit. Terjadi ketegangan politik karena penunjukan Pangeran Ratu Tamjidillah II naik jabatan menjadi Pangeran Pangkubumi Wali Sultan
5 Maret 1852  –1855Sultan Adam Alwasikh Billah dan

Sultan Muda Tamjidilah II
Awal perpecahan internal Tamjidilah Merangkap 2 jabatan sultan muda dan Pangeran MangkubumiKeraton Martapura
Pangeran Ratu Tamjidillah II 5 Maret 1852  –1855


Sultan muda Abdurhman wafat 5 maret 1852 di gantikan anak nya Sultan muda Tamjidilah II
1855-3 November 1857Sultan Adam Alwasikh Billah dan

Sultan Muda Tamjidilah II

Sultan Muda Prabo Anom
Awal perpecahan internal ada 2 jabatan sultan muda di martapura di tahun pengangkatan prabu anom sultan muda 1855.tragedi pengusiran 1855: Prabu anom,nyai ratu komalasari,hidayatulah,sultan adam mengusir Tamjidilah dan Wirakusuma dari keraton bumi selamat keraton Bumi Kencana MartapuraKubu Martapura Pangeran Hidayatullah II 9 oktober 1856 – 5 februari 1860

Kubu Martapura Pangeran Tamjdilah II 5 Maret 1852  – 1855
Pangeran mangkubumi Sultan muda Tamjidilah dan Pangeran Ratu Anom Wirakusuma dengan kuat meninggalkan martapura menetap di kamp serdadu belanda banjarmasin markas belanda di benteng tatas.menidirikan keraton baru kubu keraton banjar
3 November 1857 –1858kubu Martapura Sultan Muda Prabu Anom



kubu Banjarmasin
Sultan Tamjidilah II

Sultan Muda (versi Kubu Martapura 1 November 1857 sultan adam Wafat)

Sultan penuh (versi Belanda)
Kubu Martapura Pangeran Hidayatullah II 9 oktober 1856 – 5 februari 1860

kubu Banjarmasin
Keraton Banjarmasin Pangeran Ratu Anom Wirakusuma 3 november 1857-25 juni 1859
Pangeran Ratu Anom Wirakusuma dan Sultan Tamjidilah II Mendapat pengesahan resmi dari Gubernur Hindia Belanda, tapi ditolak oleh kubu Martapura.
4 November 1857 –21 November 1857kubu Banjarmasin
Sultan Tamjidilah II


Pangeran Mangkubumi Hidayatulah menggantikan sultan muda prabu anom Kubu Martapura menjadi Sultan Muda Hidayatullah II
kubu Banjarmasin menegaskan sebuah prinsip keras:
“Tidak boleh ada matahari kembar, tidak boleh ada negara di dalam negara.”
Hal ini menggambarkan penolakan terhadap keberadaan dua kekuasaan yang berdiri berdampingan.
5 November 1857 –21 November 1857 perang kubu Banjarmasinlawan kubu Martapura selama 17 Hari di hujani meriam dan mortir dan meriam tembakan serdadu belanda di menangkan
Keraton Banjarmasin Pangeran Ratu Anom Wirakusuma 3 november 1857-25 juni 1859
Kubu Martapura Pangeran Hidayatullah II menangkap dan menyerahkan Sultan muda Prabu anom di penjara benteng tatas tahun 21 november 1857 dihukum 3 bulan
21 November 1857– 23 Februari 1858Sultan Wirakusuma II Alwatsiq BillahSultan penuh Sultan Tamjidilah II (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin )Kubu Martapura di lebur menjadi satu Kubu banjamasin
pemerintahan dipindah ke banjarmasin 21 november 1857 Pangeran Ratu Anom Wirakusuma 3 november 1857-25 juni 1859
Sultan muda Prabu anom kemudian diasingkan ke Bandung pada tanggal 23 Februari 1858 jawa barat.
23 Februari 1858– 25 juni 1859Sultan penuh Sultan Tamjidilah II (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin )



Sultan Sambang bergelar Sultan Kuning dan Panglima Aling dari tapin & Demang Lehman

Sultan Muda Hidayatullah II
kubu Banjarmasin menegaskan sebuah prinsip keras:
“Tidak boleh ada matahari kembar, tidak boleh ada negara di dalam negara.”
Hal ini menggambarkan penolakan terhadap keberadaan dua kekuasaan yang berdiri berdampingan.
Pangeran Antasari ayah mertua wirakusuma II


Pangeran Ratu Anom Wirakusuma 3 november 1857-25 juni 1859
Aling menciptakan pemerintahan bayangan untuk menandingi Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah dan Pangeran Mangkoe Boemi Wira Kasoema (Wirakusuma); Sultan Muda Crown Prince, Mangkubumi Banjarmasin, tokoh administrasi dan pengendali pemerintahan di Banjarmasin antara 3 November 1857–25 Juni 1859.
25 juni 1859– 3 september 1859Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah

Sultan Muda Hidayatullah II
Sultan Tamjidilah II mengundurkan diri dari sultan dengan sukarela Naik takhta sebagai penerus sah menurut garis keluarga & adat Banjar. Perlawanan terhadap Belanda.Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billahPangeran Sorie Mataram dan Deputi mentri Tambak Anjar 25 juni 1859– 11 Juni 1860 Mendapat pengesahan resmi dari Gubernur Hindia Belandaberhasil di tumpas serdadu belanda Sultan Sambang bergelar Sultan Kuning dan Panglima Aling dari tapin

Tamjidillah II turun takhta akibat tekanan rakyat & perang
3 september 1859– 11 Juni 1860Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah

bupati banjar Regent Martapura Pangeran Adipati Jaya Pemanang

bupati banjar Regent Amuntai Raden Adipati Danoe Redja (saudara Ratu Siti, ibu Sultan Hidayatullah II)
Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin )

Memimpin sisa kekuatan Kesultanan di luar kendali Belanda; Ini menandai akhir kekuasaan langsung keluarga Wirakusuma di istana.
Pangeran Sorie Mataram dan Deputi mentri Tambak Anjar 25 juni 1859– 11 Juni 1860 .

11 Juni 1860
Pembubaran resmi Kesultanan Banjar oleh Belanda
Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah dicopot dari gelar Sultan, digantikan oleh Adipati Danoe Redja sebagai Regent (penguasa titipan) Belanda.
Adipati Danoe Redja adalah saudara dari Ratu Siti, ibu kandung Pangeran Hidayatullah.
Awal perselisihan tajam yang memecah kesultanan menjadi dua pusat kekuasaan.Sultan Muda Hidayatullah II Proklamasi deklaratif sebagai sultan wakil nya mangkoeboemi mangkoe negara Lehman

Belanda memperkuat pengaruh di istana Banjarmasin, rakyat semakin resah.
11 juni 1860- 7 Januari 1862bupati banjar Regent Martapura Pangeran Adipati Jaya Pemanang

bupati banjar Regent Amuntai Raden Adipati Danoe Redja (saudara Ratu Siti, ibu Sultan Hidayatullah II) 1835-9 November 1861

Pangeran Adipati Arya Kusuma adik kandung Sultan Tamjdilah II Regent amuntai 9 November 1861 – 7 Januari 1862
Pembubaran resmi Kesultanan Banjar oleh Belanda 11 juni 1860 Kesultanan berubah status jadi wilayah administratif Belanda.Regent (penguasa titipan)

1.Letkol Residen G.M. Verspijck
2.Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3.Lettu Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege, 4.Controleur afdeeling Kuin
5.Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
dari Pribumi Banjar
1.Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara
2.Kiai Patih Tajuddin, Kepala Distrik Martapura
3.Kiai Patih Khairuddin, Kepala Distrik Riam Kanan
4.Haji Isa
5.Raden Adipati Tumenggung Jaya Leksana
6.Pangeran /Raden Adipati Toemenggoeng Tanoe Karsa 30 Juni 1864, ia dianugerahi gelar Pangeran
Pecah Perang Banjar Perlawanan bersenjata terhadap Belanda; memimpin Perang Banjar di luar status resmi Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin ) menjadi pusat gerakan.Pemimpin Perang Banjar (di luar otoritas Belanda)
9 November 1861 – 7 Januari 1862Pangeran Adipati Arya Kusuma adik kandung Sultan Tamjdilah II Regent amuntai 9 November 1861 – 7 Januari 1862

Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara 7 Januari 1862-30 Juni 1864
Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara 7 Januari 1862-30 Juni 1864Pangeran Adipati Arya Kusuma di pindah ke adipati puruk cahu (kalteng sekarang) digantikan Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara Pecah Perang Banjar Perlawanan bersenjata terhadap Belanda; memimpin Perang Banjar di luar status resmi Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin ) menjadi pusat gerakan.Pemimpin Perang Banjar (di luar otoritas Belanda)
 7 Januari 1862-2 maret 1862Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara 7 Januari 1862-30 Juni 1864

Radhen Adipatie Toemenggoeng Tanoe Karsa sejak 30 Juni 1864 – 6 Agustus 1876
membawahi distrik-distrik: Amonthaij, dan Distrik Kaloewa, Soengei Benar en Álabioe

1. Radhen Adipatie Temenggung mangku Nata kusuma
2. Radhen Adipatie Temenggung Ngabehi Warga kusuma

3. Radhen Adipatie Temenggung Yuda negara Kusuma
Pecah Perang Banjar Perlawanan bersenjata terhadap Belanda; memimpin Perang Banjar di luar status resmi Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah (kubu Martapura dan Kubu Banjarmasin ) menjadi pusat gerakan.Pemimpin Perang Banjar (di luar otoritas Belanda)
3 maret 1862-6 juni 1901

Radhen Adipatie Toemenggoeng Tanoe Karsa sejak 30 Juni 1864 – 6 Agustus 1876

Abdurrahman (Mas Soeria Kasoema) /Radhen Adipatie Tumenggung Soeria Kesoema sejak tanggal 6 Agustus 187624 Maret 1893
membawahi distrik-distrik: Amonthaij, dan Distrik Kaloewa, Soengei Benar en Álabioe


Distrik Banjarmasin Pada tahun 1885, Soeria Kasoema menulis naskah Undang-undang Sultan Adam yang penting untuk arsip sejarah.


Kiai Mas Radhen Adipatie Djaja Samoedra.

buyut eks Kepala Badan Intelejen Negara Jenderal TNI (Purn) Prof Dr Abdullah Mahmud Hendropriyono sebagai Pangeran Harya Hikmatdiraja
Sultan penuh De Facto Sultan Wirakusuma II Alwatsiq1billah Ditangkap & dibuang wafat 6 juni 1901

Akhir kekuasaan langsung keluarga Wirakusuma di istana, perjuangan dilanjutkan di luar istana.ayah mertuanya pangeran antasari

kronologis dan kisah lengkap konflik serta perjalanan militer antara kubu Banjarmasin (Sultan Tamjidilah II Alwatsiq billah dan Pangeran Mangkubumi Wirakusuma II Alwatsiq billah) melawan kubu Martapura (Sultan Muda Prabu Anom dan Pangeran Mangkubumi Hidayatullah II Halillilah), berlangsung 4 November – 21 November 1857.


Kisah Perang Kubu Banjarmasin vs Kubu Martapura

4 November – 21 November 1857 Informasi ini didasarkan pada catatan sejarah seperti dalam buku De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863 oleh Willem Adriaan Rees (halaman 17) dan dokumen-dokumen sejarah lokal terkait Kesultanan Banjar.De bandjermasinsche krijg van 1859-1863, Volume 1 Oleh Willem Adriaan Rees halaman 17 https://books.google.co.id/books/content?id=JRQ5AQAAIAAJ&hl=id&pg=PA17&img=1&zoom=3&sig=ACfU3U2CzK4QPVfltT9DpE3uVT3KPAQ3Ng&w=1025

Latar Belakang

Setelah Kesultanan Banjar mengalami perpecahan akibat perebutan kekuasaan, dua kubu utama muncul:


1. Perjalanan Militer Perang Kubu Banjarmasin vs Martapura (1857)

Persiapan dan Posisi Awal

Setelah diusir dari Martapura pada 1855, Sultan Tamjidilah II bersama Pangeran Ratu Wirakusuma dan pasukan setianya menetap di Banjarmasin, tepatnya di sekitar Benteng Tatas yang menjadi markas pasukan Belanda. Mereka memanfaatkan dukungan militer Belanda untuk memperkuat kekuatan mereka.

Gerak Maju ke Martapura

Pada 4 November 1857, pasukan kubu Banjarmasin mulai bergerak maju dari Banjarmasin ke arah Martapura dengan rute darat yang melewati daerah rawa dan hutan tropis yang sulit. Medan berat dan jalur sempit memaksa mereka bergerak perlahan namun tetap terorganisir.

Taktik dan Peralatan

Didukung oleh artileri dan senapan laras panjang dari pasukan Belanda, kubu Banjarmasin menggunakan taktik pengepungan dan serangan bertubi-tubi ke posisi kubu Martapura yang bertahan di benteng dan keraton Bumi Kencana.

Pertempuran Sengit

Selama 17 hari, sejak 5 November hingga 21 November 1857, pertempuran berlangsung sengit di beberapa titik strategis seperti Alalak, Gambut, Sungai Tabuk, hingga pusat kota Martapura. Kubu Martapura berusaha keras mempertahankan posisi namun kalah oleh tekanan serangan berkelanjutan.

Penangkapan dan Akhir Perang

Pada 21 November 1857, puncak pertempuran terjadi dan Sultan Muda Prabu Anom berhasil ditangkap oleh Pangeran Mangkubumi Hidayatulah, kemudian diserahkan kepada Sultan Tamjidilah II. Pasukan kubu Banjarmasin pun menguasai Martapura dan membumihanguskan keraton lawan sebagai simbol kekuasaan.


2. Tokoh-Tokoh Utama dalam Konflik

Sultan Tamjidilah II Alwatsiq Billah

Pangeran Ratu Wirakusuma II Alwatsiq Billah

Sultan Muda Prabu Anom (Pangeran Praboe Citra / Abdullah)

Pangeran Mangkubumi Hidayatulah

Nyai Ratu Komalasari


3. Latar Belakang Sosial dan Politik

Konflik Internal Kesultanan Banjar

Pengaruh dan Campur Tangan Belanda

Dampak Sosial


Latar Belakang Perpecahan dan Konflik Internal Kesultanan Banjar (1855 – 1857)

Situasi Awal (1852 – 1855)

Tragedi Pengusiran 1855

Perpecahan Politik dan Kekuasaan


Kronologi Perang Selama 17 Hari

4 November 1857
Persiapan dan ketegangan meningkat di kedua kubu. Kubu Banjarmasin yang baru memegang kendali keraton mulai mengkonsolidasikan kekuatan dan mempersiapkan perlawanan.

5 November 1857
Perang meletus antara kubu Banjarmasin melawan kubu Martapura. Pasukan kubu Banjarmasin, dengan bantuan serdadu Belanda, mulai melakukan serangan ofensif. Tembakan meriam dan mortir menggema, melibatkan pertempuran sengit.

6 November 1857

Pasukan kubu Banjarmasin mempertahankan benteng utama di Alalak dengan bantuan artileri Belanda. Serangan awal diarahkan ke wilayah Gambut, tempat kubu Martapura menyiapkan pertahanan.

7 November 1857

Serangan artileri dan mortir dari kubu Banjarmasin menghujani daerah Sungai Tabuk dan sekitarnya, melemahkan pertahanan kubu Martapura yang mencoba bertahan di pinggiran Martapura.

8 November 1857

Kubu Martapura melancarkan serangan balik di daerah Astambul dan Sungai Alalak, mencoba merebut kembali posisi yang hilang. Pertempuran sengit terjadi di sekitar jalan penghubung antara Martapura dan Alalak.

9 November 1857

Pertempuran berpindah ke desa Teluk Dalam, dimana pasukan kubu Banjarmasin mempertahankan posisi penting pengawasan sungai menuju Martapura. Kubu Martapura mulai kehilangan kendali atas jalur suplai.

10 November 1857

Pasukan Belanda mengirim pasukan infanteri ke daerah rawa di sekitar Gambut, memotong jalur pergerakan pasukan Martapura dan mempersempit ruang gerak musuh.

11 November 1857

Pertempuran besar terjadi di sekitar Sungai Andai, dimana kubu Martapura berusaha menahan laju serangan. Serangan kubu Banjarmasin terus membabi buta dengan dukungan artileri.

12 November 1857

Kubu Martapura mundur ke daerah Batu Ampar, mencoba mengonsolidasikan kekuatan di wilayah perbukitan. Kubu Banjarmasin mulai mengepung posisi musuh.

13 November 1857

Pasukan Banjarmasin dan Belanda memulai pengepungan di Batu Ampar. Medan yang sulit dengan hutan lebat dan rawa-rawa membuat pengepungan berjalan lambat.

14 November 1857

Serangan gabungan dilakukan di daerah Gunung Riam, titik strategis di jalur utama menuju Martapura. Kubu Martapura semakin terdesak.

15 November 1857

Pertempuran berpindah ke desa Tabunganen, di mana kubu Martapura berusaha melancarkan serangan kejutan untuk memecah pengepungan.

16 November 1857

Serangan balasan kubu Banjarmasin di daerah Matahari, mengamankan jalur suplai menuju Martapura. Kubu Martapura mulai kehilangan moral dan persediaan.

17 November 1857

Kubu Martapura mundur ke pusat kota Martapura, bersiap menghadapi serangan terakhir. Pertempuran berlangsung sengit di pinggiran kota.

18 November 1857

Serangan meriam dan mortir intensif menghantam pertahanan kubu Martapura di Martapura. Benteng dan rumah-rumah musuh banyak yang hancur.

19 November 1857

Kubu Banjarmasin mengepung seluruh wilayah Martapura, memotong jalur keluar masuk. Serdadu Belanda mengawal pengepungan untuk mencegah pelarian.

20 November 1857

Pasukan kubu Martapura semakin terdesak, bertahan hanya di benteng utama Benteng Tatas. Kubu Banjarmasin bersiap melancarkan serangan penentuan.

21 November 1857: Puncak Konflik dan Penangkapan Sultan Muda Prabu Anom

Pada tanggal 21 November 1857, terjadi titik balik dalam konflik internal Kesultanan Banjar yang memuncak selama 17 hari sebelumnya antara kubu Banjarmasin dan kubu Martapura.

Penangkapan Sultan Muda Prabu Anom

Sultan Muda yang dikenal dengan beberapa nama seperti Pangeran PraboePangeran Praboe AnomPangeran Praboe Citra, atau Pangeran Praboe Abdullah, yang berperan aktif dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan melawan kekuatan kolonial, akhirnya berhasil ditangkap.

Penangkapan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi Hidayatulah, tokoh yang juga memiliki pengaruh besar dan dikenal sebagai vassal tandingan di Martapura, yang kemudian menyerahkan Sultan Muda Prabu Anom kepada Sultan Tamjidilah al-Watsiq Billah dan Pangeran Mangkubumi Wira Kasoema di Banjarmasin.

Penahanan dan Pengasingan

Konteks Konflik Internal

Kerajaan Banjar memang menghadapi konflik internal berkepanjangan:

Dampak Politik dan Sosial

Sumber Referensi

Informasi ini didasarkan pada catatan sejarah seperti dalam buku De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863 oleh Willem Adriaan Rees (halaman 17) dan dokumen-dokumen sejarah lokal terkait Kesultanan Banjar.De bandjermasinsche krijg van 1859-1863, Volume 1 Oleh Willem Adriaan Rees halaman 17 https://books.google.co.id/books/content?id=JRQ5AQAAIAAJ&hl=id&pg=PA17&img=1&zoom=3&sig=ACfU3U2CzK4QPVfltT9DpE3uVT3KPAQ3Ng&w=1025

Peran Belanda

Perjalanan Militer Infanteri Belanda dari Banjarmasin ke Martapura

Selama masa perang, pasukan infanteri Belanda melakukan perjalanan darat dari Banjarmasin ke Martapura melalui rute yang menantang:

Kesimpulan

Kronologi Perang Kubu Banjarmasin vs Kubu Martapura (4 November – 21 November 1857)

4 November 1857

Pasukan Sultan Tamjidilah II dan Pangeran Ratu Wirakusuma memulai serangan militer untuk merebut kembali kendali atas Martapura.

5 – 21 November 1857

Kronologi Kesultanan Banjar (1852–1862) – Berdasarkan Arsip Belanda & Dokumen Keluarga Wirakusuma

1852 – 1857

Mempersiapkan transisi kekuasaan penuh menuju pengangkatan sebagai Sultan Banjar.

Pangeran Mangkubumi Tamjidillah II Alwatsiqubillah diangkat menjadi Sultan Muda Tamjidillah II Alwatsiqubillah menggantikan ayahnya, Sultan Muda Abdurrahman Alwatsiqubillah, yang wafat pada tahun 1852.

Pengangkatan ini sesuai dengan surat wasiat Sultan Muda Abdurrahman Alwatsiqubillah yang menetapkan putranya sebagai pewaris takhta resmi.

Wakil yang mendampingi dalam pelaksanaan tugas adalah Pangeran Ratu Anom Wirakusuma Alwatsiqubillah.

Tugas Sultan Muda Tamjidillah II pada periode ini meliputi:

Membantu administrasi pemerintahan Kesultanan Banjar.

Menjaga hubungan diplomatik dan politik dengan pemerintah kolonial Belanda.

1852 – 25 Juni 1859

3 November 1857 – 25 Juni 1859
Setelah wafatnya Sultan Adam, Sultan Tamjidillah II Alwatsiqubillah naik tahta sebagai Sultan Banjar.
Ia dibantu Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Wirakusuma II Alwatsiqubillah sebagai wakilnya.
Pusat pemerintahan berada di Keraton Banjarmasin (Kubu B).
Masa ini ditandai oleh ketegangan internal, khususnya dengan kubu pendukung Pangeran Hidayatullah di Martapura.
Pengaruh Belanda di pemerintahan semakin kuat.

25 Juni 1859 – 11 Juni 1860


Di Keraton Banjarmasin (Kubu B)Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah naik takhta setelah Sultan Tamjidillah II dilengserkan oleh pihak Belanda.
Sultan Tamjidillah II sebenarnya mengundurkan diri karena tidak sanggup mengendalikan situasi yang semakin kacau akibat kerusuhan dan kekacauan yang dipicu oleh adik tirinya, Pangeran Hidayatullah.
Pada masa ini, Perang Banjar mulai memanas.

Sementara itu di Keraton Martapura (Kubu A)Pangeran Hidayatullah tetap memimpin sebagai penguasa tandingan yang menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda.

Kronologi Peristiwa 25 Juni 1859 – 11 Juni 1860
Di Keraton Banjarmasin (Kubu B)Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah naik tahta setelah Sultan Tamjidillah II dilengserkan oleh Belanda.
Ia memimpin pada saat Perang Banjar mulai memanas.
Di Keraton Martapura (Kubu A), Pangeran Hidayatullah tetap memimpin sebagai penguasa tandingan yang menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda.

25 Juni 1859

3 September 1859

11 Juni 1860

Meskipun demikian, Pangeran Hidayatullah masih terus berjuang sebagai simbol perlawanan, walau secara formal tidak diakui Belanda.

Belanda secara resmi membubarkan Kesultanan Banjar.

Sultan Wirakusuma II diturunkan dari takhta.

Pusat pemerintahan tradisional Kesultanan Banjar tidak lagi diakui secara hukum kolonial.

11 Juni 1860
Belanda secara resmi membubarkan Kesultanan Banjar.
Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah dicopot dari gelar Sultan dan digantikan oleh Adipati Danoe Redja sebagai Regent (penguasa titipan Belanda).
Adipati Danoe Redja adalah saudara dari Ratu Siti, ibu kandung Sultan Hidayatullah.
Sejak saat itu, Kesultanan berubah status menjadi wilayah administratif Hindia Belanda.

kalau melihat kronologinya memang ada indikasi permainan politik keluarga.
Ketika Belanda membubarkan Kesultanan Banjar dan mencopot Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah pada 2 Maret 1862, posisi itu tidak diberikan kepada tokoh bangsawan lain atau penerus garis lurus kerajaan, melainkan kepada Adipati Danoe Redja—yang kebetulan adalah saudara kandung Ratu Siti, ibu Sultan Hidayatullah.

Artinya:

Kalau kita tarik pola, ini mirip dengan strategi divide et impera Belanda—memanfaatkan rivalitas keluarga untuk mengamankan kepentingan mereka.

11 Juni 1860 – 2 Maret 1862
Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah memimpin Perang Banjar dari luar struktur pemerintahan resmi, melanjutkan perlawanan terhadap Belanda setelah pembubaran kesultanan.

3 Maret 1862
Sultan Wirakusuma II Alwatsiqubillah ditangkap dan dibuang ke Cianjur.
Peristiwa ini menandai akhir kekuasaan langsung keluarga Wirakusuma di istana.
Perjuangan kemudian dilanjutkan di luar istana oleh Pangeran Antasari, ayah mertua Wirakusuma II.


Penjabaran dan Penjelasan:

  1. Latar Belakang Konflik Sejarah
    Dalam banyak sejarah kerajaan, khususnya Kesultanan Banjar, sering kali terjadi perbedaan versi cerita dari keluarga atau keturunan yang berbeda. Di sini disebutkan dua tokoh penting:
    • Hidaytulah, yang adalah adik tiri dari Wirakusuma.
    • Keluarga atau keturunan dari keduanya tampaknya memiliki versi sejarah yang berbeda atau bersaing.
  2. Monolog Versi Tunggal
    “Mereka cari sumber sejarah dengan monolog versi tunggal ke anak cucu Hidaytulah” berarti:
    • Sejarah yang disampaikan hanya berdasarkan versi atau sudut pandang keluarga Hidaytulah.
    • Seolah-olah sejarah hanya diwakili atau ditulis dari satu sisi (monolog tunggal), tanpa memasukkan sudut pandang atau cerita dari keturunan Wirakusuma.
  3. Reaksi Keturunan Wirakusuma
    “Akhirnya anak cucu Wirakusuma serang balik” artinya:
    • Keturunan Wirakusuma merasa bahwa versi sejarah tersebut tidak adil atau tidak lengkap.
    • Mereka memberikan versi balik atau bantahan terhadap narasi yang disampaikan oleh keturunan Hidaytulah.
    • Ini bisa berupa pernyataan, penulisan ulang sejarah, atau upaya untuk mengembalikan kebenaran sejarah dari sudut pandang mereka.
  4. Konteks Masa Kini
    Pernyataan ini menegaskan bahwa konflik versi sejarah ini bukan hanya terjadi di masa lalu, tapi berlanjut hingga sekarang (masa kini), sehingga perbedaan narasi atau “perang versi sejarah” antara keturunan Hidaytulah dan Wirakusuma masih terasa atau diperdebatkan sampai saat ini.

Intinya:


Latar Historis: Dua Garis Keturunan yang Berbeda

Di Kesultanan Banjar abad ke-19, ada dua tokoh yang sangat penting:

  1. Sultan Hidayatullah II
    • Anak dari Sultan Muda Abdurrahman, tapi dari istri yang berbeda dengan Wirakusuma.
    • Berstatus adik tiri Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II Al-Watsiq Billah.
    • Dikenal sebagai tokoh perlawanan terhadap Belanda, namun punya jalur politiknya sendiri.
  2. Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II Al-Watsiq Billah
    • Memegang peran penting dalam pemerintahan, memimpin pada masa krisis (1859–1860).
    • Garis keturunannya banyak terlibat dalam administrasi kerajaan, diplomasi, dan perang Banjar.

Mereka berdua satu darah dari garis kerajaan, tetapi berbeda ibu, sehingga kadang ada perbedaan kepentingan politik dan dukungan rakyat.


Peristiwa Kunci di Masa Lalu


Interaksi Keturunan di Masa Kini

Fast forward ke abad ke-21.

Contoh kekinian:


Narasi Kisah

Bayangkan sebuah ruang keluarga di Banjarmasin pada tahun 2025.
Di satu sudut, ada meja kayu tua dengan foto-foto leluhur berbingkai emas.
Seorang cucu Wirakusuma, Gusti Fadlan, menatap foto buyutnya, Sultan Wirakusuma II, sambil berkata:

“Sejak kecil aku hanya mendengar cerita dari buku sekolah… tapi di rumah, kakek menceritakan hal yang berbeda. Leluhur kita bukan sekadar tokoh pelengkap. Mereka adalah pemimpin sejati, yang juga mempertaruhkan nyawa demi Banjar.”

Di seberang kota, di sebuah seminar sejarah, keturunan Hidayatullah, Raden Salman, berdiri di panggung, membacakan kisah kepahlawanan buyutnya. Para hadirin bertepuk tangan, seolah hanya garis keturunannya yang menjadi inti perjuangan Banjar.

Kabar acara itu sampai ke telinga Gusti Fadlan.
Ia tidak marah, tapi hatinya panas:

“Mengapa kisah keluarga kami tidak pernah disebut? Padahal buyutku dan buyutnya berjuang bersama.”

Maka, Fadlan dan beberapa sepupu mulai mengumpulkan arsip, surat lama, dan catatan lisan.mengunggahnya di media sosial, dan mengundang akademisi untuk membicarakan sisi lain sejarah Banjar.

Dalam hitungan bulan, narasi “versi tunggal” mulai terguncang. Masyarakat Banjar pun sadar: sejarah mereka ternyata punya dua nadi, dua cerita, dan dua pahlawan yang sama-sama layak dikenang.

Akibat Perang

Kisah Konflik dan Motivasi

Sakit hati dan dendam atas pengusiran yang terjadi pada 1855 menjadi motif kuat bagi Sultan Tamjidilah II dan Pangeran Ratu Wirakusuma untuk melancarkan serangan balasan pada 1857. Perang ini bukan hanya soal merebut wilayah, tapi juga pembalasan politik dan pengukuhan legitimasi sebagai penguasa tunggal Kesultanan Banjar.

Perang antara kubu Banjarmasin dan Martapura selama 17 hari ini menjadi babak penting dalam sejarah Kesultanan Banjar abad ke-19. Kemenangan kubu Banjarmasin, dengan dukungan Belanda, tidak hanya mengakhiri perseteruan dualisme politik, tapi juga menandai penguatan kontrol kolonial Belanda atas Kalimantan Selatan.


Pangeran Toemenggoeng Tanoe Karsa

Jadi, beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda


Bab 2 – Masa Pemerintahan Singkat Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah & Meletusnya Perang Banjar

2.1 Naiknya Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah (Sultan de facto)

Pada 25 Juni 1859, dalam suasana genting akibat perpecahan internal istana dan Sultan Tamjidilah I Alwatsiqbillah mengundurkan diri dengan sukarela,diasingkan ke istana bogor empang bogor jawa barat meningkatnya tekanan kolonial, Wirakusuma II diangkat sebagai Sultan de facto oleh faksi bangsawan yang anti-Belanda. Pengangkatannya merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi kolonial dan simbol penyatuan kekuatan rakyat Banjar yang telah lama tertekan.

Dukungan terhadap Kubu Banjarmasin Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah datang dari tokoh-tokoh bangsawan Pangeran Sorie Matarama putra sultan adam Sebagai Kepala administrasi Pemerintahan ( Pangeran Mangkubumi Sultan Muda ) dan Pangeran Tambak Anjar putra Mangkubumi Kencana sebagai Deputi mentri ( Adik Ipar Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah), ulama, dan para pemimpin rakyat di pedalaman. Meski demikian, ia tidak diakui oleh pihak Kubu Martapura yang justru mendukung sultan Proklamasi/Deklaratif Pangeran Mangkubumi Martapura:Sultan muda Hidayatulah II Halillilah di Amuntai.

2.2 Kebijakan Awal & Sikap Anti-Kolonial

Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah segera mengambil langkah-langkah strategis:

Langkah-langkah ini memicu kekhawatiran Belanda yang melihat kembalinya ancaman kedaulatan lokal.

2.3 Meletusnya Perang Banjar (1859–1860)

Ketegangan memuncak menjadi konflik terbuka. Perang Banjar dimulai dengan serangan-serangan mendadak pasukan lokal terhadap pos-pos kolonial di pedalaman. Pertempuran sengit terjadi di wilayah Martapura, Barito, dan Kapuas.

Belanda merespons dengan mengirim pasukan besar dari Batavia dan Makassar. Mereka menggunakan strategi pengepungan, pemblokiran jalur sungai, dan penghancuran pusat-pusat logistik rakyat.

Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama, namun kekuatan militer dan persenjataan Belanda yang lebih modern menjadi faktor penentu.

2.4 Kejatuhan Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah & Pengasingan ke Residen Parahiangan Cianjur Jawa barat (2-3 Maret 1862)

Pada 1 Juni 1860, posisi Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah melemah setelah beberapa benteng utama jatuh ke tangan Belanda. Pada 11 Juni 1860, ia resmi dilengserkan oleh pihak kolonial.Residen / Pejabat Belanda I. N. Nieuwen Huyzen (Nieuwenhuyzen) — tercatat sebagai Residen/pejabat Belanda di Tatas / Banjarmasin sekitar 1860; ia juga yang pada 11 Juni 1860 mengumumkan penghapusan kerajaan Banjar. (Garuda Kemdikbud,Wikipedia) dan C. C. Tromp — tercatat memegang jabatan mulai 11 November 1870 (dokumen kota/Banjarmasin mencantumkan namanya). Wikipedia, Satu Data Kota Banjarmasin. Ada catatan pejabat Belanda lain yang dicantumkan dalam kronik kota (A. M. E. Ondaatje 1858; C.A. Kroesen 1898; C.J. Van Kempen 1924) — beberapa masuk periode sampai 1904 ada penerus Belanda.

Kejatuhan Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah & Pengasingan ke Residen Parahiangan Cianjur Jawa barat (2-3 Maret 1862) Keputusan Belanda tidak menghukum mati sang Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah, melainkan mengasingkannya ke Cianjur pada 3 maret 1862 di bawah pengawasan Residen Parahiangan Cianjur Jawa barat. Langkah ini dimaksudkan untuk memutus hubungan Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah dengan basis perlawanan Banjar, namun semangat perlawanan tetap menyala di tanah kelahirannya.

2.5 Warisan Perlawanan

Meskipun hanya memerintah Sultan De facto selama 9 Bulan sejak 25 Juni 1859-11 Juni 1860 , Sultan Wirakusuma II meninggalkan warisan politik dan moral:


Bab 3 – Lengsernya Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah dan Lanjutan Perang Banjar (11 Juni 1860)

3.1 Faktor Lengsernya Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah

Kekuasaan Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah hanya bertahan dari 25 Juni 1859 hingga 11 Juni 1860. Ada beberapa faktor utama yang membuat posisinya melemah:

  1. Kekuatan militer Belanda yang unggul – persenjataan modern, kapal perang di sungai-sungai strategis, dan pasukan bantuan dari Batavia.
  2. Perpecahan internal bangsawan Banjar – sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.3 Sep 1859 – 11 Jun 1860 Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah Sultan de facto; pusat perlawanan anti-Belanda
  3. 11 Jun 1860 – 9 Nov 1861 Raden Adipati Danoe Redja saudara Ratu siti Ibu kandung Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Hidayatulah II Halillah. Raden Adipati Danoe Redja (Regent Amuntai) Penguasa titipan Belanda,beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda.Pembubaran resmi Kesultanan Banjar oleh Belanda 11 juni 1860 Kesultanan berubah status jadi wilayah administratif Belanda.Regent (penguasa titipan).Pihak Belanda 1.Letkol Residen G.M. Verspijck. 2.Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura. 3.Lettu Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege, 4.Controleur afdeeling Kuin. 5.Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
  4. Pangeran Adipati Jaya Pemanang (Regent Martapura) dibantu pihak bangsawan Banjar diantaranya :1.Radhen Adipatie Djaija Negara/ Toemenggoeng Djaija Negara. 2.Kiai Patih Tajuddin Saudara Pangeran Abdul Qadir Raja Pagatan Bugis Pulau Laut, Patih Tajuddin Kepala Distrik Martapura. 3.Kiai Patih Khairuddin, Kepala Distrik Riam Kanan. 4.Haji Isa.5.Raden Adipati Tumenggung Jaya Leksana. 6.Pangeran /Raden Adipati Toemenggoeng Tanoe Karsa 30 Juni 1864, ia dianugerahi gelar Pangeran– sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.Penguasa titipan Belanda,beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda
  5. 9 Nov 1861 – 7 Jan 1862 Pangeran Adipati Arya Kusuma Adik Sultan Tamjidillah II; Regent Amuntai – sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.dipindah ke Puruk Cahu,beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda
  6. 7 Jan 1862 – 30 Jun 1864 Raden Adipatie Tumenggung Djaija Negara Memimpin distrik Amuntai & memegang peran ganda: administratif & militer – sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda
  7. 30 Jun 1864 – 6 Agu 1876 Raden Adipati Tumenggung Tanoe Karsa Memimpin distrik Amonthaij, Kaloewa, Soengei Benar, Álabioe – sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda
  8. 6 Agu 1876 – 24 Mar 1893 Raden Adipati Tumenggung Soeria Kasoema Memimpin distrik kwen Banjarmasin, – sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda Pernah Menulis naskah hukum Undang-Undang Sultan Adam (1885) Buyut Pangeran Harya Hikmatdiraja; Pada tahun 1876, Soeria Kasoema menerima medali emas sebagai penghargaan atas pengabdian dan loyalitasnya.Pada tahun 1877, pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar kehormatan “Raden” sebagai pengakuan atas jasa-jasanya.Ia terlibat dalam menyukseskan acara peringatan ulang tahun Ratu Belanda pada 19 Februari 1878, dengan mengorganisasi pesta besar yang melibatkan berbagai suku dan komunitas di Banjarmasin, menciptakan kerukunan dan kegembiraan bersama.Biaya pesta tersebut sangat besar, mencapai seribu gulden, dan Soeria Kasoema menanggung biaya tersebut sendiri sebagai bentuk dedikasi kepada masyarakat.
  9. 24 Mar 1893 – 14 Januari 1905 Kiai Mas Raden Adipati Djaja Samoedra sebagian keluarga istana condong mendukung Belanda demi keamanan kedudukan mereka.beliau merupakan tokoh pemerintahan Hindia Belanda
  10. Dualisme kekuasaan – kubu Martapura dan kubu Banjarmasin yang setia pada Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah berhadapan dengan adik tiri Kubu Sultan proklamasi/Deklaratif yang dipengaruhi Pangeran Mangkubumi Sultan Muda Hidayatulah II Halillah dan mangkoe boemi Mangkoe Negara Lehman ( Demang Lehman) Panembahan Antasari / Pangeran Antasari Proklamasi Sultan Kuning leluhur syah pewaris Tahta sultan kuning kakek nya Pangeran Amir, Pangeran Antasari Ayah Mertua Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah.
  11. Tekanan ekonomi & logistik – jalur suplai senjata dan bahan makanan terputus akibat blokade sungai.

3.2 Peristiwa 11 Juni 1860: Lengsernya Sultan


3.3 Reaksi Para Pejuang Banjar

Lengsernya sultan tidak memadamkan semangat perlawanan. Justru, tokoh-tokoh lokal mengisi kekosongan kepemimpinan:


3.4 Serangan & Perlawanan Lanjutan

Pasca-lengser, perang berubah menjadi perang gerilya:


3.5 Jalur Komunikasi & Logistik Pejuang Banjar

Perlawanan berlanjut berkat jaringan komunikasi yang rapi:


3.6 Munculnya Tokoh-Tokoh Ambisius

Situasi kekuasaan yang tidak stabil melahirkan tokoh-tokoh baru, sebagian menjadi pejuang, sebagian lainnya justru berkolaborasi dengan Belanda:

PeriodeTokoh & JabatanCatatan
3 Sep 1859 – 11 Jun 1860Sultan Wirakusuma IISultan de facto; pusat perlawanan anti-Belanda
11 Jun 1860 – 9 Nov 1861Raden Adipati Danoe Redja (Regent Amuntai) & Pangeran Adipati Jaya Pemanang (Regent Martapura)Penguasa titipan Belanda
9 Nov 1861 – 7 Jan 1862Pangeran Adipati Arya KusumaAdik Sultan Tamjidillah II; dipindah ke Puruk Cahu
7 Jan 1862 – 30 Jun 1864Raden Adipatie Tumenggung Djaija NegaraMemimpin distrik Amuntai & memegang peran ganda: administratif & militer
30 Jun 1864 – 6 Agu 1876Raden Adipati Tumenggung Tanoe KarsaMemimpin distrik Amonthaij, Kaloewa, Soengei Benar, Álabioe
6 Agu 1876 – 24 Mar 1893Raden Adipati Tumenggung Soeria KasoemaMenulis naskah hukum Undang-Undang Sultan Adam (1885)
24 Mar 1893 – 6 Jun 1901Kiai Mas Raden Adipati Djaja SamoedraBuyut Pangeran Harya Hikmatdiraja; wafatnya menandai akhir keluarga Wirakusuma di arena politik

3.7 Akhir Kekuasaan Langsung Wirakusuma


Kalau Anda mau, saya bisa lanjutkan Bab 4 – Pengasingan di Cianjur (1862–1901) dan Jejak Politik Sultan Wirakusuma II yang memuat kondisi hidupnya, jaringan pribumi di Jawa Barat, dan pengaruhnya terhadap gerakan politik nasional.
Itu akan menjadi jembatan langsung dari perang ke pengasingan, sehingga buku Anda terasa utuh dari tahta hingga wafatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *