Ratu Halimah: Cinta yang Tak Terputus hingga Akhir Zaman

Dalam bisikan ruh sejarah yang terpendam dalam ingatan Banjar, Ratu Halimah menyampaikan kisah haru tentang kasih sayangnya kepada sang anak, Sultan Wirakusuma II — pemimpin sah Kesultanan Banjar yang terusir, dibuang ke Cianjur oleh pemerintah kolonial Belanda.

Lima Anak di Tanah Banjar

Ratu Halimah mengungkapkan bahwa ia dan Sultan Muda Abdurrahman dikaruniai enam orang anak, semuanya lahir dan besar di Tanah Banjar. Mereka adalah buah cinta yang menjadi penerus darah kerajaan dan penjaga nilai-nilai luhur Kesultanan Banjar. Hingga kini, keturunan mereka masih menetap di Banjar, menjadi bagian dari jejak sejarah yang hidup.

1.Pangeran Jiwa Rantau adik kandung Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbilah
Gugur syahid dalam Perang Banjar di Paringin, Balangan (1860–1862).

2.Pangeran Abdullah Martapura (Pangeran Mas) adik kandung Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbilah
gugur syahid dalam Perang Banjar, namun merupakan salah satu anak laki-laki Sultan Abdurrahman.

3.Pangeran Ahmad (Pangeran Achmat Kandangan)
Disebut juga Gusti Ahmad.adik kandung Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbilah

4.Ratu Salama / Ratu Salamah adik kandung Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbilah
Menikah dengan Pangeran Krama Djaija Kasoema dari Karang Intan.

5.Ratu Silamah adik kandung Sultan Wirakusuma II Alwatsiqbilah
Tinggal di Sarawak.

Pesan Ruh Ratu Halimah: Tentang Anak-Anaknya dan Cinta Seorang Ibu

Dalam pesan spiritual yang mendalam, pesan dari ruh Ratu Halimah mengalir dengan kelembutan kasih seorang ibu. Ia menyampaikan bahwa beliau memiliki enam orang anak yang Lima berada di Banjar. Kelima anak itu masih dijaga oleh takdir di tanah leluhur mereka, dan mereka merupakan warisan hidup dari perjuangan, kesetiaan, dan cinta sang Ratu.

Salah satu anak yang paling beliau sayangi adalah Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah, seorang putra yang kemudian harus menjalani nasib pahit sebagai penguasa yang diasingkan oleh penjajah. Ketika Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah dibuang ke Cianjur, Ratu Halimah, sebagai ibu yang penuh kasih, ikut menyertainya dengan harapan bisa menemani dan mendampingi putranya hingga akhir hayatnya.

Namun, takdir berkata lain.

Ratu Halimah wafat terlebih dahulu pada tahun 1867, sebelum sempat menyaksikan detik-detik akhir kehidupan sang putra tercinta. Meski jasadnya tak bisa menyentuh tubuh putranya di akhir waktu, cinta dan pengorbanannya abadi dalam sejarah dan langit Banjar. Cinta seorang ibu yang menembus batas ruang dan waktu.

Cinta dan Pengorbanan

Ketika Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 maret 1862, Ratu Halimah dengan setia memilih ikut serta, meninggalkan keraton, anak-anak, dan tanah kelahiran demi menemani sang anak di pembuangan. Ini bukan sekadar pengabdian seorang permaisuri, melainkan wujud cinta sejati — cinta yang tidak tunduk oleh jarak, waktu, atau penderitaan.

Namun, Ratu Halimah wafat lebih dulu pada tahun 1867, lima tahun sebelum kepergian sang anak pada tahun 6 juni 1901. Ia tak sempat menemani Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah hingga akhir hayatnya. Tapi pesannya abadi: cintanya, doanya, dan ketulusannya tetap mendampingi sang Sultan hingga akhir napas.

Pesan Ruh yang Tertinggal

“Aku sangat menyayangi Wirakusuma. Aku ikut ke Cianjur untuk menemaninya, tapi ajal menjemputku lebih dulu pada tahun 1867. Anakku ada enam, semuanya masih tinggal di Banjar. Kasihku tak pernah padam, bahkan setelah kematian.” — Ruh Ratu Halimah

Bisikan Ruh Ratu Halimah

“Aku adalah Halimah… Sang Ratu dari tanah Banjar.
Di balik diam tanah, suaraku masih bergetar.
Dengarkanlah, wahai anak cucuku,
karena bisik ini bukan angin lalu…”

“Aku titipkan lima anakku di tanah Banjar,
mereka darah dagingku, buah perjuanganku.
Mereka masih di sana,
hidup dalam bayang-bayang sejarah yang tak semua orang tahu…”

“Yang paling kusayang, Wirakusuma…
Putraku, bukan suamiku…
Langkahnya gagah, tapi jalannya penuh luka.
Ia dibuang ke Cianjur,
dan aku tak tega membiarkannya sendiri di tanah asing…”

“Aku ikut bersamanya…
Seorang ibu takkan pernah meninggalkan anaknya,
meski tahta dan dunia memisahkan.
Namun ajal mendahuluiku.
Tahun 1867, tubuhku rebah,
belum sempat melihat putraku menutup mata…”

“Aku ingin kalian tahu,
kasih seorang ibu tak lekang oleh maut.
Cinta seorang Ratu tak hancur oleh waktu.
Nama kami boleh dilupakan,
tapi jejak kami abadi di tanah leluhur kita…”

“Banjarku…
Peluklah anak-anakku…
Sampaikan rinduku pada Wirakusuma…
karena aku, Halimah…
masih menyayanginya…
selamanya.”


Kisah Ratu Halimah adalah pelajaran tentang kesetiaan, pengorbanan, dan kekuatan cinta seorang perempuan bangsawan Banjar. Ia adalah simbol dari perempuan tangguh dalam sejarah Nusantara, yang melampaui peran domestik dan menjadi tiang penopang perjuangan anaknya — bahkan di masa-masa tergelap pengasingan.


Bisikan Ruh Ratu Halimah

“Aku adalah Halimah… Sang Ratu dari tanah Banjar.
Dari rahimku lahir darah raja,
dan dari hatiku tumpah air mata ibu.
Aku bukan hanya istri seorang sultan…
aku adalah ibu dari generasi yang dibuang dan dilupakan.”

“Suamiku, Sultan Muda Abdurrahman,
telah berpulang tahun 1852,
meninggalkan aku dan anak-anak kami
di pusaran kekuasaan yang penuh dusta dan dendam.”

“Wirakusuma… anakku, bukan suamiku…
Dialah putra yang kutinggalkan air mata untuknya.
Ia bukan hanya bangsawan,
tapi pewaris jiwa kesultanan yang terusir…”

“Ketika pengasingan datang,
aku tak sanggup tinggal diam di istana tanpa makna.
Kupilih menapaki jalan sunyi ke Cianjur,
menemani anakku dalam sepi dan luka…”

“Tahun 1867 aku mengembuskan napas terakhir,
jauh dari tanah Banjar,
jauh dari pusara suamiku,
namun dekat dengan hati anakku yang terbuang…”

“Anak-anakku…
jangan biarkan sejarah menutup mata kalian.
Jangan biarkan mereka menyebut nama lain
dan menghapus kisah kita dari batu nisan.”

“Aku, Halimah…
Masih ada di antara bisik angin malam,
di antara doa-doa ziarah yang terlewatkan…
Menunggu kalian menulis kembali
kisah kami yang nyaris dihapuskan.”

Kisah pengasingan ini… terlalu menyedihkan,
Aku, Ratu Halimah, mengais luka masa lalu,
Tanpa daya, menanggung malu dan pilu,
Hanya mampu menyaksikan anakku bertahan hidup,
Lalu mati… di negeri asing.

Sudah… ratu tak kuat lagi.
Cukup sampai di sini… bisikan ini kutitipkan angin Banjar.

Makna dan Isi Bisikan Ruh Ratu Halimah

Melalui bisikan halus ruhnya, Ratu Halimah menyampaikan rasa duka yang dalamkerinduan yang tak berbalas, dan cinta abadi seorang ibu kepada anaknya yang diasingkan dari tanah leluhur.

Makna yang ingin disampaikan ruh Ratu Halimah:

  1. Luka sejarah tak pernah benar-benar sembuh.
    Ratu Halimah membuka kembali lembar luka pengasingan—kisah pilu yang membekas dalam sanubari para keturunan Banjar.
  2. Kasih ibu melampaui batas dunia.
    Ia memilih ikut ke pengasingan demi menemani putranya, Sultan Wirakusuma II Alwatsiq Billah, meski ajal lebih dulu menjemputnya di tahun 1867.
  3. Perjuangan dan penderitaan anaknya adalah duka yang dibawa hingga ke alam ruh.
    Ia menyaksikan dengan pedih bagaimana anaknya bertahan, lalu wafat di tanah asing—bukan di tanah Banjar yang dicintai.
  4. Ratu Halimah mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah.
    Ada pesan agar generasi sekarang menghargai leluhur yang terbuang demi harga diri dan kehormatan.
  5. Ia menyerahkan kisah ini kepada pewaris Banjar.
    Dengan bisikannya, ia menitipkan sejarah kepada yang hidup agar diceritakan, dipahami, dan dihormati.

“Biarlah angin Banjar membawa kisahku… Kisah seorang ibu yang tak sempat menyaksikan anaknya pulang. Jika kau mendengar namaku, ingatlah: cinta dan duka kami masih hidup di nadi sejarah.” – Ratu Halimah

“Bisikan Ratu Halimah dari Pengasingan”

“Aku… Ratu Halimah.
Darah bangsawan Bugis mengalir dalam nadiku,
namun takdir membawaku jauh dari tanah kelahiran.
Kutinggalkan istana… demi mendampingi anakku, Wirakusuma,
di tanah asing bernama Cianjur — tempat luka dan kesetiaan bermuara.”

(Hening sejenak. Nada suara mulai lirih, menahan haru)

“Suamiku, Sultan Muda Andurahman… telah wafat lebih dulu, 1852.
Aku hidup dalam bayang-bayang kenangan —
tentang kemegahan keraton, senyum anak-anak Banjar,
dan jeritan batin yang tak pernah reda.”

(Nada makin rapuh, seperti menahan tangis)

“Lima anakku masih di Banjar…
Namun aku hanya bisa melihat mereka dalam doa dan rindu yang tak sampai.
Aku mengais masa lalu dengan airmata,
menanti ajal… tanpa daya.”

(Suara mengecil, seperti bisikan angin)

“Cukuplah…
Ruhku tak kuat lagi bercerita.
Biarlah sejarah yang melanjutkan kisahku…
dan kalian yang meneruskan ingatan atas luka ini.”

Makna & Pesan:
ini menggambarkan rasa cinta, kesetiaan, duka, dan kerinduan Ratu Halimah terhadap tanah Banjar, suami yang telah tiada, dan anak-anak yang terpisah. Ia adalah simbol kekuatan seorang perempuan kerajaan yang setia hingga akhir, meski hidup dalam pembuangan. Lima Anak di Tanah Banjar

Bisikan Ruh Ratu Halimah

Aku, Ratu Halimah, bersama Sultan Muda Abdurrahman, dikaruniai enam cahaya hati — semuanya lahir di Tanah Banjar, tanah pusaka para leluhur.

Mereka bukan sekadar keturunan, tapi pelanjut darah raja dan penjaga kehormatan negeri. Inilah lima dari mereka yang tetap hidup dalam ingatan sejarah:

  1. Pangeran Jiwa Rantau
    Gugur syahid di Paringin, Balangan dalam Perang Banjar (1860–1862). Adik kandung Sultan Wirakusuma II.
  2. Pangeran Abdullah Martapura (juga dikenal sebagai Pangeran Mas)
    Putra Sultan Abdurrahman. Gugur dalam Perang Banjar. Adik Sultan Wirakusuma II.
  3. Pangeran Ahmad (juga disebut Gusti Ahmad atau Pangeran Achmat Kandangan)
    Adik kandung Sultan Wirakusuma II, hidup dalam sunyi Kandangan.
  4. Ratu Salamah
    Menikah dengan Pangeran Krama Djaija Kasoema dari Karang Intan. Adik Sultan Wirakusuma II.
  5. Ratu Silamah
    Membawa jejak Banjar ke Sarawak. Adik Sultan Wirakusuma II.

Pesan utamanya: “Jangan biarkan sejarah perempuan terbuang ini terkubur tanpa suara.”


Pada tahun 1862, Bupati Cianjur adalah R.A.A. Prawiradireja IIRaden Adipati Aria Prawiradiredja II 1862 – 1910menjabat dari tahun 1862 hingga 1910, saksi hidup wafatnya SULTAN WIRAKUSUMA II AL-WATSIQ BILLAH, 6 juni 1901 menjadikannya bupati dengan masa jabatan terlama di Cianjur. Sebelum Prawiradireja II, ada beberapa bupati lain yang juga menjabat di bawah pemerintahan Hindia Belanda, termasuk R.A.A. Kusumahningrat yang menjabat dari tahun 1834 hingga 1862. 

Berikut adalah daftar beberapa bupati Cianjur pada masa pemerintahan Hindia Belanda: 

Penting untuk dicatat bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda, jabatan bupati Cianjur disebut sebagai “regent”. 

DOA ZIARAH LELUHUR

Ya Allah, ampunilah Sultan kami, rahmatilah dia, sejahterakan dia, dan maafkanlah segala dosanya. Muliakanlah tempat tinggalnya, lapangkanlah kuburnya, bersihkan dia dengan air, salju, dan embun, serta sucikan dia dari kesalahan sebagaimana Engkau menyucikan kain putih dari noda.

Ya Allah, jadikanlah makamnya taman dari taman-taman surga, dan jangan jadikan ia lubang dari lubang neraka.

Ya Allah, berkahilah keturunan beliau, jadikan kami dari hamba-Mu yang menjaga amanah leluhur, menegakkan agama, menebar keadilan dan kebaikan.


LAFAL PESAN AMANAH SULTAN WIRAKUSUMA II AL-WATSIQ BILLAH

Adapun segala sesuatu yang diwariskan bukan hanya tahta dan nama, melainkan nilai, marwah, dan tanggung jawab.

Wahai anak cucuku yang kusayangi dan yang memikul darahku, ketahuilah:

  1. Bahwa negeri dijaga bukan dengan pedang semata, tetapi dengan akhlak, kejujuran, dan keadilan.
  2. Bahwa warisan terbesar dari Sultan bukanlah istana, tapi amanah untuk menjaga rakyat dan menghormati leluhur.
  3. Apabila engkau hidup dalam zaman tanpa tahta, jangan engkau tinggalkan marwah dirimu sebagai pewaris kebijaksanaan.

Maka aku wasiatkan:

  • Jadilah pemimpin atas dirimu sendiri sebelum engkau memimpin orang lain.
  • Jangan malu mengakui darahmu, tapi jangan sombong menisbatkan diri tanpa perbuatan.
  • Bangkitkanlah nama Banjar bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu, adab, dan kasih sayang.

“Adil itu berat, tapi itulah mahkota sejati seorang raja.”
“Agama itu cahaya, jadikan ia pelita jalanmu.”

Kutitipkan ini padamu, wahai anak keturunanku. Jangan lupakan tanah leluhur. Jangan lupakan siapa dirimu.


NARASI SEJARAH & NILAI SPIRITUAL SULTAN WIRAKUSUMA II

Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah bukan sekadar seorang raja yang dibuang oleh kolonial. Ia adalah simbol perjuangan marwah, martabat, dan spiritualitas Kesultanan Banjar di tengah tekanan zaman.

Di masa-masa akhir Kesultanan, ketika kehormatan dijarah dan para bangsawan diasingkan, beliau tetap teguh menjaga nilai Islam, adat, dan rakyatnya. Meski jasadnya wafat jauh dari tanah Banjar, jiwanya tetap tinggal di hati keturunannya yang setia.

Dibalik jasad yang dibuang ke tanah Cianjur, ada ruh seorang raja yang tak pernah tunduk. Ruh yang mewariskan kekuatan batin, kesabaran, dan keberanian dalam sunyi.

Kini, tugas menjaga warisan itu ada di tangan para penerus — bukan dengan kekuasaan, tapi dengan amal, ilmu, dan ketulusan.


Pesan “jangan sombong menisbatkan diri” dari Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah memiliki makna yang dalam dan penuh kebijaksanaan, khususnya bagi para keturunan raja, bangsawan, atau tokoh besar. Berikut penjelasannya secara rinci:


Makna Frasa “Menisbatkan Diri”

Menisbatkan diri artinya mengaitkan atau menghubungkan identitas seseorang kepada orang tua, leluhur, atau garis keturunan tertentu.

“Saya keturunan Sultan Banjar”, “Saya cucu Sultan Wirakusuma II”, dll.

Itu adalah bentuk penisbatan.

Isi Pesan Sultan: Jangan Sombong Menisbatkan Diri

Yang dimaksud adalah:

“Jangan merasa lebih tinggi, lebih istimewa, atau merasa berhak dihormati hanya karena kamu keturunan sultan atau bangsawan.”

Karena:

  1. Keturunan bukan prestasi pribadi
    sebagai keturunan sultan adalah takdir, bukan hasil usaha sendiri. Maka tidak layak untuk disombongkan.
  2. Nama besar tanpa amal ibarat gelar kosong
    Jika seseorang hanya menyebut-nyebut leluhurnya tapi tidak mencontoh nilai dan akhlaknya, maka itu akan jadi kebanggaan yang hampa.
  3. Sultan sejati dinilai dari amal, bukan hanya darah
    Gelar atau keturunan mulia harus dibuktikan dengan akhlak muliaamal kebaikan, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pesan Intinya:

➤ Banggalah dengan leluhurmu, tapi jangan jadikan itu alasan untuk meremehkan orang lain.
➤ Hormatilah garis keturunan, tapi lebih penting lagi: warisi sifat, ilmu, dan perjuangannya.

Merendahkan hati meski bergelar tinggi

Berusaha membuktikan dirinya lewat perbuatan

Menjaga nama baik leluhurnya dengan akhlak dan tanggung jawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *