Pesan Terakhir Mangkubumi Jantam Kerajaan Negara Dipa 1389 -1450: Kode Etik Kepemimpinan Negara Dipa.saudagar kaya dari negeri Keling (Koromandel) dan Gujarat Kalingga, India Selatan atau jawa timur dan datang ke Kalimantan dengan armadanya, Prabayaksa. yang mendirikan Kerajaan Negara Dipa di Kalimantan (saat ini Kalimantan Selatan). Ia diyakini hidup pada awal abad ke-14 dan merupakan tokoh penting dalam sejarah Kalimantan Selatan dan Kerajaan Negara Dipa-Kerajaan Negara Daha -Kesultanan Banjar-Pagustian Banjar

Dalam sejarah panjang Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Dayak Ma’anyan yang diyakini sebagai leluhur sejati pulau Borneo — terdapat satu figur kebangsawanan yang dikenang bukan karena takhta atau peperangan, melainkan karena kebijaksanaannya: Mangkubumi Jantam.
Beliau adalah penasihat utama kerajaan, pengelola pemerintahan sehari-hari, sekaligus pelindung nilai-nilai adat yang diwariskan turun-temurun. Dalam struktur pemerintahan Negara Dipa, jabatan Mangkubumi bukan sekadar pembantu raja, melainkan penjaga keseimbangan antara hukum, spiritualitas, dan suara rakyat.
Maharatu Dewi Sita Rara seorang bangsawan Dayak Ma’anyan Hindu-Syiwa Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Suku Dayak Maanyan, leluhur sejati pulau Borneo

Istri dari Mangkubumi Jantam, seorang bangsawan wanita Dayak Ma’anyan beragama Hindu-Syiwa, dikenal sebagai Dewi Sita Rara. Ia merupakan putri keturunan luhur kerajaan Nan Sarunai, simbol kesucian dan pengetahuan yang tinggi. Ia diperistri oleh Mangkubumi Jantam, seorang Maharaja berdarah campuran Jawa dan Ma’anyan — pendiri awal tatanan Negara Dipa setelah masa transisi Nan Sarunai akibat agresi Majapahit.
Semua pemikiran dan kebijakan Mangkubumi Jantam, sebagaimana dicatat dalam tradisi lisan dan ajaran adat, berakar dari ajaran dan petuah istrinya, sang Maharatu Dewi Sita Rara. Ia adalah guru rohani sekaligus penasihat utama, yang memberi arah pada tindakan suaminya. Dalam budaya Ma’anyan kuno, keharmonisan antara pemimpin dan pasangannya adalah dasar kesejahteraan negeri.
Pesan Terakhir Mangkubumi Jantam:
“Jangan kikir! Bersikap adil terhadap setiap orang. Dan hendaklah menerima dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang yang datang menghadap!”
Pesan ini bukan hanya ucapan menjelang wafat, melainkan warisan kode etik pemerintahan Ma’anyan kuno, yang diturunkan sebagai prinsip hidup para pemimpin Negara Dipa:
- Jangan kikir
→ Pemimpin sejati harus berjiwa dermawan, tidak menimbun kekayaan atau kuasa untuk dirinya sendiri. Kekayaan negeri adalah milik rakyat. - Bersikap adil terhadap setiap orang
→ Tanpa pandang kasta, suku, atau latar belakang. Prinsip keadilan universal menjadi dasar legitimasi kekuasaan. - Mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan rakyat
→ Pemimpin tidak boleh menunda keadilan. Kesegeraan dalam merespons keluhan rakyat adalah tanda pemimpin yang hadir, bukan bersembunyi dalam istana.
Warisan Etika Kepemimpinan Tradisional
Pesan Mangkubumi Jantam dijadikan dasar dalam ajaran adat dan pambakal (hukum desa) Ma’anyan. Bahkan, sebagian besar undang adat di daerah aliran Sungai Barito hingga ke pegunungan Meratus, masih mencerminkan prinsip itu:
- Forum permusyawaratan adat wajib terbuka bagi semua warga.
- Pemimpin adat yang menolak mendengarkan keluhan akan kehilangan legitimasi spiritual.
- Keadilan harus dikawal bukan hanya oleh raja, tapi oleh Mangkubumi, yang dianggap perpanjangan suara rakyat dan suara leluhur.
Pesan terakhir dari Mangkubumi Jantam mengandung nilai-nilai luhur kepemimpinan dan kebijaksanaan yang sangat mendalam. Berikut penjabaran rasional dan masuk akal dari pesan tersebut:
“Jangan kikir!”
- Makna: Seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh bersifat pelit, baik dalam hal materi, waktu, perhatian, maupun keputusan.
- Rasionalisasi: Dalam kepemimpinan, kemurahan hati mencerminkan empati dan keberpihakan kepada rakyat. Pemimpin yang dermawan akan lebih mudah dicintai dan dihormati. Kedermawanan juga menunjukkan kekuatan dan kepercayaan diri dalam berbagi.
- Konteks budaya: Dalam nilai-nilai Nusantara, khususnya di kerajaan-kerajaan Kalimantan dan Jawa, kemurahan hati seorang pemimpin adalah simbol dari kesuburan dan kesejahteraan negeri.
“Bersikap adil terhadap setiap orang.”
- Makna: Keadilan harus menjadi dasar utama dalam setiap keputusan dan tindakan pemimpin, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau kedekatan pribadi.
- Rasionalisasi: Keadilan menjamin stabilitas sosial dan politik. Masyarakat yang merasa diperlakukan adil akan lebih loyal dan tidak mudah memberontak. Sebaliknya, ketidakadilan adalah bibit dari kerusuhan dan kehancuran negara.
- Nilai universal: Prinsip ini sejalan dengan ajaran agama, filosofi klasik, dan sistem hukum modern bahwa keadilan adalah pilar utama peradaban.
“Dan hendaklah menerima dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang yang datang menghadap!”
- Makna: Seorang pemimpin harus rendah hati dan terbuka, bersedia mendengarkan keluhan, permintaan, dan aspirasi rakyatnya tanpa menunda-nunda.
- Rasionalisasi: Kepemimpinan bukan soal kekuasaan semata, tetapi soal pelayanan. Mendengarkan dengan cepat dan langsung menunjukkan perhatian dan rasa tanggung jawab. Ini juga mempercepat proses penyelesaian masalah dan mencegah kekecewaan publik.
- Konteks historis: Dalam sistem kerajaan atau pemerintahan adat, raja atau mangkubumi yang dekat dengan rakyat adalah yang paling dikenang dan dihormati, seperti halnya Pangeran Mangkubumi Ratu Anom Sultan Wirakusuma II, Pangeran Mangkubumi Ratu Anom Sultan Hidayatullah I dan Pangeran Antasari.
Kesimpulan:
Pesan terakhir dari Mangkubumi Jantam bukan sekadar nasehat moral, tapi kode etik kepemimpinan tradisional Banjar yang sangat relevan hingga kini. Pesan tersebut merupakan warisan spiritual dan etika politik yang mengajarkan bahwa:
“Pemimpin sejati adalah yang murah hati, adil, dan mau mendengar.”
Pesan ini bisa dijadikan falsafah hidup bagi pemimpin masa kini, baik dalam konteks pemerintahan, organisasi, maupun keluarga.
Simbol Kebijaksanaan dalam Tradisi Ma’anyan
Kisah Mangkubumi Jantam dan Maharatu Dewi Sita Rara menjadi simbol ideal dalam falsafah Ma’anyan:
- Bahwa kekuatan laki-laki sebagai pemimpin harus diimbangi oleh kearifan perempuan.
- Bahwa pemerintahan yang kuat bukan dibangun oleh pedang, melainkan oleh mendengar, memahami, dan memberi dengan tulus.