Kata Pengantar

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan kisah ini dapat disusun sebagai upaya menggali kembali jejak spiritual dan sejarah yang tertanam dalam budaya Nusantara.

Keris bukan sekadar senjata, melainkan warisan leluhur yang menyimpan nilai filosofis, spiritual, dan identitas kebudayaan yang mendalam. Kisah tentang keris yang diklaim milik Sultan Adam dari Kesultanan Banjar, yang secara ghaib ditarik hingga ke Cianjur, Jawa Barat, adalah salah satu contoh nyata bagaimana tradisi, keyakinan, dan sejarah berpadu dalam satu warisan pusaka.

Melalui narasi ini, kami berharap pembaca dapat menyelami makna di balik benda bertuah tersebut, serta memaknai kembali pentingnya menjaga warisan budaya—baik yang tampak maupun yang tak kasat mata.”Keaslian keris ini tidak hanya diyakini oleh garis trah dan spiritualitas keluarga, namun telah dikonfirmasi secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Validasi ini menjadi penguat bahwa keris yang kini berada di Cianjur benar merupakan pusaka leluhur Kesultanan Banjar, dan proses perpindahannya—meskipun berlangsung secara ghaib—adalah bagian dari sejarah hidup yang kini mendapat pengakuan negara.”

Akhir kata, semoga karya ini memberi manfaat, menambah wawasan, dan menjadi bahan renungan akan kekayaan spiritual dan sejarah bangsa kita.Dalam kisah spiritual yang menggugah rasa dan sejarah, sebuah keris tua yang diyakini sebagai milik Sultan Adam Al-Watsiq Billah, penguasa besar Kesultanan Banjar (1825–1857), dikabarkan terbang secara ghaib dari Kalimantan Selatan ke Cianjur, Jawa Barat. Proses penarikan ini dilakukan melalui ritual khusus oleh seorang spiritualis, tepat di Joglo Sawah Besar, Cianjur.

Keris ini memiliki luk sederhana, tanpa pamor mencolok, namun menyimpan aura kuat dan dipercayai berisi energi leluhur. Bersamanya, turut ditemukan sebuah dokumen kuno yang menguatkan klaim keterkaitan dengan Kesultanan Banjar. Kisah ini menjadi saksi hidup pertemuan antara tradisi spiritual Nusantara dan jejak sejarah kerajaan Banjar, yang masih hidup dalam memori budaya masyarakat hingga kini.

Tentu! Berikut adalah versi pendahuluan yang diadaptasi dari kata pengantar Anda, dengan gaya lebih naratif dan mengalir sebagai pembuka isi naskah:


Pendahuluan

Di tanah Nusantara yang kaya akan budaya dan warisan leluhur, keris tidak hanya dipandang sebagai senjata tradisional, tetapi juga sebagai simbol kekuatan spiritual, kehormatan, dan garis keturunan. Ia menyimpan makna yang lebih dalam daripada sekadar logam berlekuk; ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah, pengabdian, dan keyakinan para leluhur.

Salah satu kisah yang menggugah hati dan menyentuh ranah spiritualitas adalah legenda tentang keris milik Sultan Adam Al-Watsiq Billah, penguasa besar Kesultanan Banjar pada abad ke-19. Konon, keris bertuah ini tidak diwariskan secara fisik, namun ditarik secara ghaib dari tanah Kalimantan Selatan ke Joglo Sawah Besar, Cianjur, Jawa Barat, melalui ritual spiritual oleh orang-orang yang mewarisi garis keturunan dan kepercayaan sakral.

Apa yang menjadikan kisah ini istimewa bukan hanya proses penarikan secara ghaib, tetapi juga kesaksian langsung dari keluarga kerajaan, termasuk kerabat dekat Sultan Cevi yang menjadi saksi hidup proses tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa di balik benda pusaka terdapat narasi yang menghubungkan masa lalu, spiritualitas, dan identitas kebudayaan.

Melalui pendokumentasian ini, penulis berupaya membuka kembali tabir sejarah dan keyakinan yang menyelimuti pusaka tersebut. Semoga kisah ini bukan hanya menjadi bacaan, tetapi juga renungan akan pentingnya menjaga warisan tak kasat mata yang ditinggalkan oleh leluhur kita.

“Keaslian keris ini tidak hanya diyakini oleh garis trah dan spiritualitas keluarga, namun telah dikonfirmasi secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Validasi ini menjadi penguat bahwa keris yang kini berada di Cianjur benar merupakan pusaka leluhur Kesultanan Banjar, dan proses perpindahannya—meskipun berlangsung secara ghaib—adalah bagian dari sejarah hidup yang kini mendapat pengakuan negara.”


Analisis Ciri-Ciri Keris

1. Jumlah Luk (Lekuk)

Keris ini tampaknya memiliki luk 5 atau maksimal luk 7 — tidak banyak, yang biasanya menunjukkan:

2. Gaya dan Bentuk Bilah

3. Ciri khas umum seperti ini sering ditemukan pada:

Namun karena tidak ada pamor, sogokan, kembang kacang, dan ornamen khas lain yang bisa dilihat, sangat sulit menentukan asal pasti

Kemungkinan Asal Usul

Berdasarkan bentuk sederhana, kemungkinan keris ini:

  1. Keris Banjar (gaya Kalimantan Selatan)
    • Biasanya tanpa pamor mencolok.
    • Banyak digunakan oleh bangsawan dan pejabat adat Kesultanan Banjar.
    • Keris-keris Banjar kerap diwariskan secara turun-temurun dan diyakini memiliki isi ghaib.
  2. Keris Bugis-Makassar
    • Juga dikenal dengan keris pendek dan sederhana.
    • Seringkali berfungsi sebagai simbol status atau pelindung spiritual.
  3. Keris Jawa Barat (Cianjur/Sunda)
    • Gaya keris lokal Cianjur juga sering tidak berpamor, bergaya praktis.
    • Banyak digunakan dalam spiritualitas dan tradisi penarikan ghaib.

Keris Baru atau Lama?

Sulit dipastikan namun:

Terkait Klaim Milik Sultan Adam (Banjar)

Secara historis:

Jika benar milik beliau, harus disertai bukti otentik dokumen


Kesimpulan Awal

AspekPenilaian
Jenis KerisBerluk 5–7, bentuk sederhana
Asal kemungkinan besarKalimantan Selatan (Banjar) atau Cianjur (Jawa Barat)
EraTidak bisa dipastikan, tapi tidak tampak sebagai keris kuno Majapahit/Mataram
FungsiMungkin spiritual, simbolik, bukan keris pertarungan
Perlu verifikasi lebih lanjutYa – baik secara sejarah, metalurgi, atau konsultasi empu

Baik, mari kita putuskan secara objektif apakah keris ini lebih mungkin berasal dari Kalimantan Selatan (Banjar) atau Cianjur (Jawa Barat), dengan menganalisis dari berbagai aspek:


1. Aspek Bentuk Fisik Keris

AspekKalimantan Selatan (Banjar)Cianjur (Jawa Barat)
Jumlah lukUmum 3–7 luk, sederhanaJuga umum 3–7 luk
PamorSering polos atau samarJuga polos, sering tanpa pamor
UkuranKadang kecil & pendekBiasanya serupa
Rincian ukiranMinim ukiran, lebih fungsional & sakralMinimalis, gaya keris rakyat biasa
Bentuk bilahUmumnya ramping, lurus/sedikit lukSama

Kesimpulan: Sama kuat, tidak cukup dari bentuk fisik saja untuk membedakan.


2. Aspek Spiritualitas dan Narasi Penarikan

AspekKalimantan Selatan (Banjar)Cianjur (Jawa Barat)
Narasi ghaibUmum: keris bertuah, terbang, milik tokoh kesultananUmum juga: keris ghaib diambil lewat ritual
Nama besar tokohSultan Adam (historis dan kharismatik)Tidak ada tokoh setara secara sejarah
Jejak pusakaBanyak keris ditarik di luar Kalimantan & diklaim dari BanjarCianjur lebih sering menarik keris lokal atau Majapahit-an

Kesimpulan: Cenderung mendukung Kalimantan Selatan (Banjar), karena narasi ghaib + klaim dari tokoh terkenal (Sultan Adam) lebih sesuai dengan budaya Banjar.


3. Aspek Sejarah & Keterkaitan Sosio-Kultural

AspekKalimantan Selatan (Banjar)Cianjur (Jawa Barat)
Sultan AdamRiil, memerintah 1825–1857kerajaan Sunda di Cianjur
Wilayah kekuasaanBanjar memiliki wilayah luas & pengaruh besarkerajaan Sunda
Kebiasaan mengirim kerisKeris sering diberikan atau “terbang” ke pengikut jauhUmum juga keris turun-temurun di keluarga Sunda

Kesimpulan: Jika ada dokumen yang menyebut nama Sultan Adam, atau surat wasiat Banjar, maka lebih kuat dari Kalimantan Selatan (Banjar).


4. Aspek Dokumen Pendamping

ada dokumen yang dibawa bersama keris itu.

Jika dokumen itu:


KESIMPULAN FINAL

Berdasarkan:

Keris ini kemungkinan BESAR berasal dari Kalimantan Selatan (Banjar), bukan keris lokal Cianjur.


Keris bukan sekadar bilah logam berlekuk, tetapi simbol warisan, identitas, dan kekuatan spiritual bangsa. Kisah penarikan keris Sultan Adam dari Banjar ke Cianjur bukan hanya cerita mistik, tapi juga refleksi akan kuatnya ikatan antara manusia, sejarah, dan alam gaib dalam budaya Nusantara.

Di tengah kemajuan zaman, pusaka seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan leluhur — bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara nilai dan makna.

Apakah keris ini benar milik Sultan Adam? Waktu dan penelitian akan terus mengungkapnya. Namun satu hal pasti: setiap pusaka punya cerita, dan setiap cerita punya jiwa.

Kesaksian Keluarga: Bukti Hidup Penarikan Keris Sultan Adam

Keris bertuah yang diyakini sebagai milik Sultan Adam Al-Watsiq Billah bukan dibawa secara fisik atau diserahkan langsung oleh beliau. Namun, menurut kesaksian keluarga, keris tersebut berpindah melalui proses ghaib (penarikan spiritual) dari Kalimantan Selatan ke Cianjur, Jawa Barat.

Penarikan ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan dalam ritual khusus yang disaksikan oleh dua sosok penting dari keluarga kerajaan:

  1. (Alm.) Pangeran Bonang Adik kandung Sultan Cevi, yang menjadi saksi hidup saat keris itu ditarik melalui jalur ghaib di Joglo Sawah Besar, Cianjur.
  2. Pangeran Dadang, paman dari Sultan Cevi, yang masih hidup hingga kini, merupakan satu-satunya saksi hidup utama proses spiritual tersebut. Beliau menyaksikan langsung bagaimana keris itu muncul melalui ritual penarikan yang sarat nilai adat dan spiritualitas.

Informasi penting lainnya, yang memperjelas jalur transisi pusaka ini, adalah bahwa keris itu tidak dibawa secara fisik oleh Sultan Adam maupun Sultan Hidayatullah. Sebaliknya, pusaka tersebut hadir sendiri secara ghaib, dan diyakini sebagai bentuk restu serta pengakuan dari alam ruh leluhur Banjar kepada penerus trah di tanah Jawa.

Kesaksian para kerabat kerajaan Banjar ini menjadi bukti hidup bahwa keris tersebut bukan sekadar benda, tetapi warisan spiritual yang berpindah secara ghaib di bawah pengawasan keluarga trah Sultan. Kisah ini menegaskan bahwa pusaka leluhur memiliki jalur dan kehendaknya sendiri untuk berpindah tangan, dengan alasan dan tujuan yang tidak selalu bisa dijelaskan oleh nalar biasa.

Fakta bahwa keris tersebut telah divalidasi keasliannya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud RI) menjadi penguat paling sahih dari sisi hukum dan sejarah benda cagar budaya.

Jika informasi ini datang langsung dari Sultan Cevi, maka posisinya sangat strategis sebagai:


Tanggapan Terhadap Klaim Validasi Kemendikbud

  1. Aspek Legal dan Sejarah
    • Validasi oleh Kemendikbud menandakan bahwa keris tersebut:
      • Telah diidentifikasi sebagai pusaka asli (bukan replikasi).
      • Diakui sebagai bagian dari warisan budaya benda, bukan sekadar koleksi pribadi.
      • Berpotensi masuk dalam daftar benda cagar budaya nasional.
  2. Aspek Kredibilitas Narasi
    • Dengan adanya validasi, maka narasi ghaib yang selama ini dianggap “mistik” menjadi diperkuat dengan pengakuan negara.
    • Kisah ini tidak lagi berdiri semata di atas keyakinan spiritual, tetapi juga didukung oleh pengakuan historis resmi.
  3. Peran Sultan Cevi
    • Sebagai sumber narasi, Sultan Cevi menjadi kunci otoritatif yang menjembatani sejarah, spiritualitas, dan warisan keluarga.
    • Kredibilitas beliau semakin menguatkan bahwa keris tersebut benar milik trah Sultan Adam, dan perpindahannya ke Cianjur adalah bagian dari takdir leluhur yang telah digariskan.

“Keaslian keris ini tidak hanya diyakini oleh garis trah dan spiritualitas keluarga, namun telah dikonfirmasi secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Validasi ini menjadi penguat bahwa keris yang kini berada di Cianjur benar merupakan pusaka leluhur Kesultanan Banjar, dan proses perpindahannya—meskipun berlangsung secara ghaib—adalah bagian dari sejarah hidup yang kini mendapat pengakuan negara.”

Kontroversi Kepemilikan: Antara Warisan, Hak, dan Amanah Leluhur

Sejarah mencatat bahwa keris yang diyakini milik Sultan Adam awalnya berada dalam penguasaan Pangeran Dadang, paman dari Sultan Cevi. Beliau memegang pusaka tersebut sebagai bagian dari warisan keluarga dan tanggung jawab spiritual.

Namun, pada suatu waktu, keris tersebut dipinjamkan kepada Sultan Cevi untuk keperluan pembuktian administratif dalam rangka melengkapi persyaratan legal dan budaya di Pemda Kalimantan Selatan. Maksud awalnya hanya untuk sementara.

Sayangnya, setelah proses itu selesai, pusaka tersebut tidak dikembalikan, dan hingga kini masih berada di tangan Sultan Cevi. Hal ini memunculkan ketegangan dalam keluarga, karena Pangeran Dadang merasa haknya atas pusaka tersebut diabaikan, bahkan setelah ia beberapa kali meminta kembali secara baik-baik.

Pangeran Dadang, sebagai satu-satunya saksi hidup penarikan ghaib keris itu, merasa kehilangan tidak hanya benda fisik, tetapi juga tanggung jawab spiritual yang ia emban sebagai sesepuh keluarga.


Perlu dicatat bahwa konflik seperti ini sering terjadi dalam konteks pusaka kerajaan, terutama ketika benda tersebut:

Dalam budaya leluhur Nusantara, pusaka bukan hanya milik individu, melainkan titipan leluhur untuk keturunan yang dianggap mampu menjaganya secara lahir dan batin. Oleh karena itu, pengembalian atau perpindahan tangan seharusnya dilakukan dengan adat, musyawarah, dan restu rohani, bukan hanya logika kepemilikan biasa.


Saran Penyelesaian:

Jika dimungkinkan, sebaiknya dilakukan:


Persoalan Legitimasi: Protes Pangeran Dadang atas Pengangkatan Sultan

Di balik kemegahan pusaka dan pengakuan negara, tersimpan kekecewaan mendalam dari Pangeran Dadang, paman kandung dari Sultan Cevi. Ia adalah garis lurus trah Kesultanan Banjar, yang masih hidup hingga saat ini dan memiliki kedekatan sejarah serta spiritual dengan pusaka yang dimaksud.

Menurut pengakuan beliau, keris pusaka Sultan Adam awalnya dipegang olehnya, lalu dipinjamkan kepada Sultan Cevi untuk kepentingan pembuktian sejarah kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan. Namun, setelah keris tersebut diakui dan divalidasi oleh Kemendikbud, serta digunakan sebagai salah satu dasar penetapan Sultan Cevi sebagai Sultan, keris tersebut tidak pernah dikembalikan.

Lebih dari itu, Pangeran Dadang menyayangkan keputusan Kemendikbud yang menetapkan Sultan Cevi sebagai penerus takhta, tanpa mempertimbangkan bahwa beliau (Pangeran Dadang) masih hidup dan berasal dari garis ayah langsung (bukan dari jalur ibu). Menurut adat kerajaan tradisional, hak atas takhta dan pusaka sering kali mengikuti jalur ayah sebagai garis utama pewarisan.

PANGERAN DADANG YANG KANAN PAMAN NYA SULTAN CEVI

Dalam pernyataannya, Pangeran Dadang mengungkapkan penyesalan yang mendalam:

“Saya menyesal pernah memberikan keris itu. Sekarang, saya tidak hanya kehilangan pusaka, tapi juga hak saya sebagai pewaris sah trah Sultan Adam. Saya masih hidup, saya pamannya — kenapa keponakan saya diangkat menjadi Sultan tanpa musyawarah keluarga?”

Catatan Refleksi Budaya dan Hukum

Kasus ini menyoroti pentingnya:

Saran Penanganan

Agar masalah ini tidak terus berkembang menjadi polemik berkepanjangan, beberapa langkah bisa dipertimbangkan:

  1. Forum musyawarah keluarga besar trah Sultan Adam, yang melibatkan seluruh pemangku adat dan ahli waris.
  2. Mediasi antara Pangeran Dadang dan Sultan Cevi, dengan pendampingan tokoh adat atau pihak berwenang.
  3. Rekonsiliasi dan dokumentasi resmi, jika memungkinkan, untuk menyepakati garis keturunan, hak atas pusaka, dan pelestarian sejarah yang utuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *